Dulu, Ia Bercap Kolonial
top of page
Cari

Dulu, Ia Bercap Kolonial


PEMERINTAH sering membuat tema-tema tak berumur lama, tak mengalami pemaknaan bersambung, dari hari ke hari. Para peringatan Hari Pahlawan, pemerintah membuat tema: “Pahlawanku Sepanjang Masa”. Sekian hari berlalu, tema itu tak terpikirkan lagi. Di Kompas, 11 November 2020, kita membaca keterangan dari pihak panitia bahwa para pahlawan “tidak sekadar diingat setiap 10 November”. Pada 2020, ada 20 usulan tokoh untuk mendapat gelar pahlawan. Enam tokoh berhak digelari pahlawan. Ada satu nama mungkin lama tak teringat atau tak diketahui publik. Ia bernama Arnold Mononutu.


“Tulis, tulis di situ, di biografiku bahwa aku betul-betul bermental kolonial,” kata sang tokoh sejarah. Arnold Mononutu mengisahkan diri sebagai orang bermental kolonial itu mengejutkan bagi kita sedang merenungkan sejarah dan tokoh-tokoh menggerakkan Indonesia. Kita justru diberi pengakuan jujur: “Aku betul-betul bermental kolonial”. Pengakuan disampaikan saat R. Nalenan bermaksud membuat buku biografi Arnold Mononutu. Pada usia 80-an tahun, tokoh itu tak ingin menghapus sejarah pernah menjadi bocah dan remaja bercap kolonial.

Para kolektor dan pembaca buku-buku seri biografi para tokoh pergerakan terbit Gunung Agung tentu tak terlalu terkejut dengan pemberian gelar pahlawan bagi Arnold Mononutu. Pembaca buku berjudul Arnold Mononutu: Potret Seorang Patriot (1981) sudah bisa menebak atau mengangankan pernghormatan tertinggi. Selembar sambutan terberikan dalam penerbitan buku, ditandatangani Arnold Mononutu pada 17 September 1981: “Saya inginkan agar coretan tentang garis hidup saya ini dapat diteruskan manfaatnya kepada kaum Marhaen di seluruh Indonesia agar mereka dapat dibebaskan dari belenggu kemiskinan dan kemelaratan pada masa-masa mendatang… Banyak teman dekat saya sudah tinggal tulang dan tulang. Kami semua bakal menjadi tulang. Tetapi pesan saya ialah berilah makna kepada tulang kami”. Kalimat terasa puitis gara-gara sejak remaja memang menggemari membaca buku-buku sastra.


Ia memiliki masa lalu sebagai bocah dan remaja dalam kecukupan. Bapak adalah pegawai pemerintah kolonial. Pada masa lalu, ia malah bisa dianggap memiliki tata cara hidup berlimpahan. Arnold Monomutu lahir di Manado (4 Desember 1896), mengalami masa kecil di Gorontalo. Di situ, ia menjadi murid ELS. Nostalgia: “Arnold Mononutu pergi ke sekolah dengan naik sepeda, memakai pakaian yang sedikit lux”. Masa remaja, ia dan keluarga kembali ke Manado. Biografi berubah dengan keputusan bapak sebagai amtenar dan memutuskan menggunakan nama Belanda. Si remaja itu mendapat nama: Arnold Wilson Mononutu. “Masuklah mereka kepada golongan Indo,” penjelasan R. Nalenan.

Episode itu mengingatkan Minahasa. Kita simak penjelasan pada masa remaja: “Politik pemerintah Hindia Belanda di Minahasa sama sekali tidak menunjukkan politik pro rakyat. Semata-mata politik kolonial untuk kepentingan kolonial Belanda”. Pengakuan-pengakuan sebagai orang bermental kolonial memang terjadi saat bocah dan remaja, babak belum memungkinkan kesadaran “baru” atas negeri jajahan. Pengisahan Minahasa berlatar abad XIX bisa kita temukan dalam buku N. Graafland berjudul Minahasa: Negeri, Rakyat, dan Budayanya (1991). Buku perjalanan dan memberi kesaksian perubahan-perubahan di Minahasa. Pujian terberikan: “Memang, Minahasa sedang menuju masa depan yang indah! Semoga Tuhan memberkati tanah yang baik ini, pemerintahnya, dan semua orang yang telah bekerja sama meningkatkan kesejahteraan sejati rakyatnya!” Situasi abad XIX itu turut memberi arti atas biografi Arnold Mononutu dalam pendidikan dan agama.


Mental kolonial terus dimiliki Arnold Mononutu saat melanjutkan studi ke Belanda. Ia masih mengaku Indonesia, mau bergaul dengan kaum muda Belanda atau Indo saja. Ia memang lelaki penuh pesona, melanjutkan episode selama masih di Indonesia. Ia suka pesta, mendatangi tempat hiburan, dan memiliki pacar-pacar berkebangsaan Belanda. Ia malas bergaul dengan para pemuda Indonesia. Hari demi hari berganti, ia mulai tergoda mendatangi rapat kaum muda Indonesia dalam Indonesische Vereeniging. Rapat dihadiri 100-an orang, diisi pidato-pidato. Peristiwa itu menentukan: “Sejak rapat itu pemuda Arnold Mononutu menjadi ‘orang Indonesia’. Ia mendapat ‘kebangsaannya’ melalui Perhimpunan Indonesia. ia membuang jauh-jauh mental kolonialnya”.

Ia semakin rajin mengikuti rapat-rapat Perhimpunan Indonesia, memberi ide dan seru dalam bersikap atas nasib Indonesia. Pengakuan diberikan Hardi dalam buku berjudul Menarik Pelajaran dari Sejarah (1988): “Yang dapat dikatakan secara pasti ialah upaya menggalang persatuan dan kesatuan bangsa itu merupakan produk kematangan berpikir. Hal itu, antara lain, didorong oleh pemikiran tokoh-tokoh dari Perhimpunan Indonesia di Belanda seperti Hatta, Sartono, Nazir Pamuntjak, Arnol Mononutu, dan lain-lain. Maka oleh para eksponen generasi muda, menjelang 1926, akhirnya disadari mengenai perlunya penggalangan persatuan dan kesatuan bangsa”. Peran kaum muda di Belanda berpengaruh besar di Indonesia dengan mengadakan Kongres Pemuda I (1926) dan II (1928). Arnold Monutu turut berperan.


Maka oleh para eksponen generasi muda, menjelang 1926, akhirnya disadari mengenai perlunya penggalangan persatuan dan kesatuan bangsa”. Peran kaum muda di Belanda berpengaruh besar di Indonesia dengan mengadakan Kongres Pemuda I (1926) dan II (1928). Arnold Monutu turut berperan.

Di Perhimpunan Indonesia, Arnold Mononutu menjadi pengurus dan duta untuk menjalin hubungan dengan kaum muda pergerakan Asia-Afrika di Eropa. Kerja sama menjadi penting dan berdampak. Arnold Mononutu bertugas ke Paris. Peran ditunaikan mengorbankan studi di Belanda dan gaya hidup. Di sana, ia pun mengerti sebagai orang miskin setelah tak mendapat kiriman uang dari bapak di Indonesi gara-gara gerakan politik. Ahmad Subarjo dalam autobiografi berjudul Kesadaran Nasional (1978) memberi kesaksian: “Arnold Mononutu fasih berbahasa Prancis, dan inilah sebabnya kenapa ia kami kirim ke Paris…. Tugasnya adalah mencari hubungan dengan mahasiswa-mahasiswa dari negara-negara Asia dan Afrika dan membicarakan keadaan-keadaan di masing-masing negaranya dalam soal gerakan nasional”. Di luar tugas politis, Arnold Mononutu mengurusi pengenalan identitas Indonesia dengan pertunjukan seni di Paris. R. Nalenan menuliskan ingatan Arnold Monunut: “Pertunjukan itu adalah pertunjukan pertama kali dalam tahun 1925 untuk menarik perhatian bangsa-bangsa di dunia terhadap bangsa Indonesia yang masih dijajah.”


Peran ditunaikan mengorbankan studi di Belanda dan gaya hidup. Di sana, ia pun mengerti sebagai orang miskin setelah tak mendapat kiriman uang dari bapak di Indonesi gara-gara gerakan politik.

Pulang ke Indonesia, Arnold Mononutu bergabung dengan gerakan kaum muda dan PNI. Arnold Mononutu menjadi tokoh penting di balik Kongres Pemuda II. Ia serumah dan sering berdiskusi dengan dua pimpinan kongres: Sugondo Djojopuspito dan Suwirjo. Arnold Mononutu dipandang kaum muda sebagai bekas pimpinan Perhimpunan Indonesia. Pilihan bergabung dengan PNI lekas memberi keinsafan bagi Arnold Mononutu untuk memberi segala bagi pergerakan politik kebangsaan, membela dan memuliakan kaum Marhaen. Peran demi peran ditunaikan sadar risiko-risiko terburuk. Sartono Kartodirdjo dalam Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional (1993) menjelaskan: “…. maka pembentukan PNI merupakan jawab tepat terhadap tantangan zaman serta yang optimal dapat diusahakan untuk memakai sumber daya yang tersedia. Secara eksplisit dinyatakan bahwa di dalam PNI tidak ada diskriminasi menurut ras, suku, agama, dan golongan sosial”. Keberpihakan atas garis gerakan PNI terus dibawa Arnold Mononutu sampai masa Orde Baru.


Peran penting Arnold Mononutu tercatat dalam mengedarkan dan menguatkan proklamasi, 1945. Pada saat Soekarno-Hatta membacakan proklamasi, Arnold Mononutu berada di Maluku Utara. Berita tentang proklamasi telat diterima. Sebulan baru proklamasi itu memerlukan sikap di Maluku Utara. Arnold Mononutu lekas mengajak para tokoh penting dan kaum muda memberi sikap tegas kemerdekaan Indonesia. Nalenan menjelaskan: “Dengan bantuan tenaga-tenaga muda yang ada di kota Ternate itulah Arnold Mononutu mendirikan organisasi politik yang namanya Persatuan Indonesia. Surat kabar yang diterbitkan di Ternate sebagai terompet organisasi dan perjuangan di Maluku Utara namanya Menara Merdeka.” Pada saat Indonesia merdeka, Arnold Mononutu terus memiliki peran besar dan memastikan Indonesia mulia. Janji membuang mental kolonial menjadi penggerak Indonesia terbuktikan sampai tua. Kini, ia mendapat penghormatan atas segala ide dan perbuatan demi Indonesia. Begitu.


_____________

Bandung Mawardi

pemenang 3 Sayembara Kritik Sastra DKJ 2019,

Kuncen Bilik Literasi, Penulis Buku Terbit dan Telat (2020)

FB: Kabut



115 tampilan
bottom of page