Dongeng, Tanah, dan Identitas
top of page
Cari

Dongeng, Tanah, dan Identitas



Judul : Kokokan Mencari Arumbawangi Penulis : Cyntha Hariadi Penerbit : Gramedia Pustaka Utama Cetak : Pertama, Juli 2020 Tebal : vii+337 halaman ISBN : 978-602-06-4025-9

Judul: Kokokan Mencari Arumbawangi

Penulis: Cyntha Hariadi

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama

Cetak: Pertama, Juli 2020

Tebal: vii+337 halaman

ISBN: 978-602-06-4025-9

DI novel yang dilabeli “sebuah dongeng” dan “novel anak” berjudul Kokokan Mencari Arumbawangi (2020), Cyntha Hariadi melanjutkan tema ibu dan anak sejak debutnya sebagai penyair lewat buku puisi Ibu Mendulang Anak Berlari (2016). Menjadi proses kreatif yang penting saat ada pernyataan bahwa Cyntha “menulisnya dengan membayangkan sedang menuturkannya kepada anaknya setiap malam sebelum tidur”. Meski dilihat dari desain dan ketebalan buku tidak terlihat sebagai sebuah novel bagi anak atau pegawai toko buku dipastikan akan meletakkan di rak “sastra” daripada “buku anak”, Cyntha berupaya membentangkan anak sebagai sang tokoh.


Bukan kebetulan Cyntha mencipta dua tokoh anak kakak-adik, Kakaputu dan Arumbawangi, berlatar kultur agraris Bali. Cyntha juga mencipta tokoh ibu bernama Nanamama yang kuat secara kultural-agraris. Secara geografis, inilah wilayah yang kini ditempati oleh Cyntha. Sekalipun persoalan ekologi melibatkan tanah, sawah, binatang, tetumbuhan, dan perangkat pertanian dipilih, mereka hadir bukan sebagai bentuk nostalgia pada lingkungan yang hilang demi pembangunan—suatu terminologi besar yang telah mengubah nasib bumi.


Kakaputu lahir dari rahim Nanamama, tapi Arumbawangi tidak. Ia dibawa oleh serombongan burung kuntul putih atau kokokan. Cerap, “Kokokan berhenti tepat di atas kebun Nanamama di pekarangan depan yang ditanami bermacam bunga dan rempah. Mereka melepaskan kantong kain di atas barisan bawang merah yang daun-daunnya sudah tinggi dan tua. Walaupun burung-burung itu sudah berusaha menurunkan dengan pelan, tetap saja terdengar jeritan dari dalam kantong kain” (hlm. 30). Kokokan bukan ancaman bagi petani. Mereka makan cacing dan serangga, hampir selalu ada di sawah. Namun, saat terlalu banyak kokokan datang membawa Arumbawangi dalam kain, warga desa merasa ini sebagai pertanda buruk.

Kita mungkin mengingat cerita-cerita rakyat atau dongeng tentang anak yang lahir dari buah mentimun besar atau batang bambu yang khas Timur. Namun, fondasi cerita Cyntha justru berasal dari dongeng klasik Eropa garapan Hans Christian Andersen (1838) berjudul The Storks (Bangau). Dalam cerita Andersen, bayi-bayi hidup dibawakan sebagai hadiah untuk anak-anak baik yang tidak mengejek bangau. Sebaliknya, anak-anak nakal diberi bayi mati. Tentu Kakaputu tidak tahu cerita bangau Andersen, tapi Cyntha secara personal ingin merefleksikan Kakaputu seperti Peter, anak baik dalam cerita The Storks yang mendapat adik dari bangau.


Kepulangan

Meski difondasi cerita klasik Eropa, setidaknya pemilihan latar, penentuan kokokan sebagai binatang kunci, dan deskripsi tata agraria memberi rasa kenusantaraan Kokokan Mencari Arumbawangi sebagai novel (anak) yang ditulis oleh penulis Indonesia. Sejak tahun '70-an, polemik sastra anak Indonesia mengarah pada dominasi karya-karya terjemahan yang memang lebih molek, benar-benar menjadikan anak subjek, bukan objek manusia dewasa, berlimpah petualangan, dan tidak moralis.


Meski difondasi cerita klasik Eropa, setidaknya pemilihan latar, penentuan kokokan sebagai binatang kunci, dan deskripsi tata agraria memberi rasa kenusantaraan Kokokan Mencari Arumbawangi sebagai novel (anak) yang ditulis oleh penulis Indonesia.

Cyntha memilih kritik pembangunan dan menempatkan Kakaputu dan Arumbawangi menghadapi para investor yang berambisi mengubah tanah pertanian menjadi hotel. Kritik tampak lumayan klise dan dewasa meski patut sebagai dongeng di zaman modern. Untungnya kehadiran tetumbuhan dan binatang dalam novel ini, tidak hadir hanya sebagai penuturan estetik. Keduanya hadir sebagai bentangan yang hidup, secara biologis dan entitas merefleksikan persoalan sikap hidup, rupa perasaan, identitas, dan ikatan lebih lekat dari darah.

Arumbawangi mencerna identitas diri di tengah ejekan “anak burung”. Cyntha menulis, “Ibarat ia sebuah bibit yang diterbangkan angin, kemudian tumbuh di suatu tanah asing dan berbuah, berguna bagi orang lain, apakah orang akan mencabut akarnya dan membuangnya? Segala bibit, padi dan tanaman lain, yang ditanam di desa ini, banyak juga yang didapat dari luar desa. Para petani tidak pernah mempersoalkannya, asal itu bibit bagus. Tapi mengapa mereka menganggap dirinya sebuah masalah?” (hlm. 51). Sejak Kakaputu menyibak kain yang membawa dirinya, ia tahu telah menjadi bagian dari sawah, tanah pekarangan, sikap hidup agraris Nanamama, dan kebocahan Kakaputu meski warga desa tidak berpikir begitu.


Bahkan Jojo, anak seorang inverstor yang kesepian, sanggup merasakan manis lumpur, capung-capung, layang-layang, sinar matahari, dan pematang sawah. Kematian Jojo karena kebakaran hotel meraibkan kata-kata sekaligus kegembiraan. Kakaputu, Arumbawangi, dan Nanamama berduka lewat bahasa tetumbuhan, “Setelah kematian Jojo, mereka semua menjalani hari-hari dengan limbung. Jiwa sedang berkabung. Biarkan saja. Mereka pasrah bila padi, kacang panjang, kangkung, bawang dan cabai merah ikut lesu. Apa yang bisa diharapkan bila hati penanamnya tidak ada di tanah, tapi di atas sana?” (hlm. 183).


“Manusia sendiri bisa jadi hama sawah paling jahat!” (hlm. 69) begitu kemarahan Nanamama meluap saat dirinya menjadi satu-satunya warga desa yang keras kepala menolak menjual sawah demi tumbuhnya hotel dan vila. Dalih memajukan desa dan membuka ladang pekerjaan diserukan investor. Sampai mati, Nanamama tidak pernah melepaskan sawahnya, “Tanah ini adalah denyut nadiku.”


Di hadapan tanah yang direbut karena kuasa uang dan orang dewasa, Kakaputu dan Arumbawangi tetaplah anak. Mereka memang kelihatan kalah, tetap melawan tanpa meninggalkan daya mereka sebagai bocah. Mereka paham satu hal bahwa tanah adalah kelahiran dan kepulangan, seperti Nanamama yang jasadnya tidak ingin dibakar. Nanamama berwasiat agar dipulangkan ke tanah dekat pohon nangka tanpa tanda. Sedang Kakaputu dan Arumbawangi, dijemput oleh sekelompok kokokan. Mereka terbang, mungkin mencari tanah segembur tanah Nanamama tanpa (keserakahan) manusia dewasa.


__________


Setyaningsih,

Esais dan penulis Kitab Cerita (2019), penekun pustaka anak,

Email: langit_abjad@yahoo.com


594 tampilan
bottom of page