Di Kursi ...
top of page
Cari

Di Kursi ...


Bandung Mawardi



Gambar: Zeit Magazin, 8 Februari 2018

Pada hari berjudul Minggu, orang berlama di kasur atau membawa raga ke jalanan. Sekian orang memilih duduk di kursi menonton berita di televisi. Pagi dirundung murung dengan berita-berita jarang menghadiahi semringah. Di luar, orang-orang ingin Minggu adalah makan. Mereka pergi dari rumah mencari warung. Pilihan tanpa sanksi: lesehan atau duduk di kursi. Mereka makan soto, pecel, sego liwet, atau sate kambing. Kaum sarapan tampak di pinggir jalan. Kita melihat mereka duduk mencipta kenikmatan. Pagi itu orang duduk di kursi: makan, minum, merokok, bercakap, dan berpotret.


Adegan malam di hari-hari tak harus bernama Minggu, orang-orang makan-minum di angkringan-wedangan. Di Solo dan Jogjakarta, sekian angkringan mencipta teater Jawa. Mereka mengundang pembeli untuk berada di tempat bersuasana Jawa. Duduk di dingklik atau lesehan di tikar perlahan diganti duduk di kursi lawasan. Sekian kursi berasal dari puluhan tahun silam ditaruh di angkringan. Kursi-kursi terpandang antik, unik, nostalgik. Kursi-kursi berusia tua. Duduk di kursi dan makan-minum di teater Jawa itu jarang murah. Kursi-kursi mungkin “mengubah” anggapan wajar atas harga taraf angkringan. Kursi itu dicari dan dibeli dengan misi mengembalikan tempo doeloe bagi para penikmat sego kucing, jahe gepuk, gorengan, sundukan brutu, jadah bakar, dan kopi.


Kursi-kursi berusia tua. Duduk di kursi dan makan-minum di teater Jawa itu jarang murah. Kursi-kursi mungkin “mengubah” anggapan wajar atas harga taraf angkringan.

Pada Minggu, 24 Februari 2019, kursi Jawa berkesan lawasan ada di lembaran kertas. Kita melihat di Kompas dalam rubrik “Ruang & Desain”. Foto-foto kursi, bukan mengarahkan kita ke politik. Kursi mengartikan manusia beradab Jawa. Berita dari Jogjakarta. Di situ, ada usaha Santai Furniture digagas oleh Dennis Plumere asal Jerman. Usaha membuat kursi-kursi diperdagangkan ke pelbagai negara. Kursi selera (imajinasi) Jawa.


“Kehidupan serba lamban di Jawa dihadirkan lewat produk seperti kursi jengki dan sedan yang telah didesain ulang oleh Singgih,” tulis di Kompas. Sepenggal kalimat membuat pembaca “siuman” dari keranjingan membawa masuk kursi-kursi aneh dan besar diimajinasikan mirip milik orang-orang berduit dengan selera Eropa atau Amerika. Di Jogjakarta, mengadakan kursi bermasa lalu dikerjakan dengan desain baru malah meluberkan imajinasi kelawasan tanpa malu dan rendahan. Kursi-kursi itu pemaknaan waktu, watak, raga, dan rasa.


Di halaman kertas, kita diterangkan kursi: “Memandang jengki desain baru itu, memori segera melayang ke kursi jengki dengan anyaman rotan yang dulu biasa ditemui di ruang-ruang tamu di Jawa Tengah dan Jogjakarta. Bedanya, jengki ini tampil lebih modern, cantik, dan elegan.” Kursi baru, bukan kursi bekas sering diburu para kolektor barang antik. Baru mengandung rasa lama. Kini, ruang tamu di desa dan kota cenderung memilih baru, meninggalkan lama pernah bercerita Jawa masa 1950-an sampai 1980-an. Orang-orang mulai memilih kursi-kursi dibeli di toko secara tunai atau cicilan. Kursi harus empuk, besar, dan berbantal. Duduk di kursi-kursi belum tentu cocok dengan raga-rasa manusia Jawa berakibat ke canggung bergerak dan obrolan. Kursi kadang “menenggelamkan” dan memberi ngantuk.


Orang-orang mulai memilih kursi-kursi dibeli di toko secara tunai atau cicilan. Kursi harus empuk, besar, dan berbantal. Duduk di kursi-kursi belum tentu cocok dengan raga-rasa manusia Jawa berakibat ke canggung bergerak dan obrolan. Kursi kadang “menenggelamkan” dan memberi ngantuk.

Pembaca mungkin lekas ingat duduk di kursi mengantuk tertuju ke gedung parlemen. Sekian tahun, kita mendapat berita-berita tentang orang-orang penting itu tidur saat duduk di kursi diterpa sinar terang lampu dan berudara dingin. Mereka pun terpengaruh kebiasaan mengantuk atau tidur selama duduk di kursi-kursi apik ditaruh di ruang tamu. Kursi berpamrih pameran ketimbang mengartikan kepantasan bagi bokong-bokong para tamu memiliki pelbagai kepentingan.

Dulu, kursi juga berada di kertas-kertas dinamai disertasi. Pengisahan kursi itu terbit jadi buku berjudul Kursi Kekuasaan Jawa (2013) susunan Eddy Supriyatna Marizar. Kalimat mendasari penjelasan-penjelasan panjang bermutu ilmiah: “Kursi merupakan salah satu jenis mebel yang unik dan misterius dibandingkan jenis mebel lainnya. Ada kecenderungan bentuk dan fungsi kursi yang ada di lingkungan keraton dan istana Jawa itu masih sering diposisikan sebagai benda yang dapat diagungkan dan disakralkan.” Kursi berada di ruang-ruang kekuasaan, bukan ruang tamu di perkampungan.


Kita sudah lama mendapat warisan cerita-cerita politis dan mistis mengenai kursi-kursi para raja atau pembesar di sejarah Jawa. Kursi memiliki bentuk, warna, dan penamaan. Kursi belum tentu mutlak Jawa. Di kursi, orang melihat percampuran ide-imajinasi dari pelbagai negeri. Kursi di Jawa bagi penguasa memiliki kaidah mencipta ketertiban, kemegahan, kemakmuran, keadilan, kebijaksanaan, dan kegagahan. Kursi itu titik tertinggi di capaian politik dan keagungan meski memiliki album perang, pemberontakan, pengkhianatan, pembunuhan, dan pembantaian. Kursi, referensi dan ironi.


Kita jemu mengurusi kursi dan kekuasaan. Kursi masih merangsang girang dan kenangan? Pengalaman manusia Jawa duduk di kursi mengalami perubahan ke “asmara”. Lelaki Jawa bernama Marno berada di Manhattan (Amerika Serikat). Ia pergi ke sana tak membawa kursi-kursi dari rumah. Ia duduk di sofa, tempat duduk empuk berbeda dari kursi di rumah. Bermula duduk di sofa berdua dengan Jane, kita menikmati percakapan dan peristiwa membuat merinding. Dua tokoh berada di cerita gubahan Umar Kayam berjudul merdu: “Seribu Kunang-Kunang di Manhattan.” Cerita itu bersama 5 cerita terbit jadi buku tipis oleh Pustaka Jaya, 1972.


Kursi itu titik tertinggi di capaian politik dan keagungan meski memiliki album perang, pemberontakan, pengkhianatan, pembunuhan, dan pembantaian. Kursi, referensi dan ironi.

“Mereka duduk bermalas-malasan di sofa. Marno dengan segelas Scotch dan Jane dengan segelas martini. Mereka sama-sama memandang ke luar djendela,” tulis Umar Kayam mengajak kita jadi penonton lelaki-perempuan di situasi aneh. Jane berucap: “Bulan itu ungu, Marno.” Jawab Marno: “Kau tetap hendak memaksaku untuk pertjaja itu?” Jenis percakapan mengandung pemaksaan dan bantahan. Jane tetap minta mufakat: “Ja, tentu sadja, kekasihku. Ajolah akui! Itu ungu bukan?” Lelaki sulit kalah atau memberi kata menghentikan perbantahan. Marno agak sinis: “Kalau bulan itu ungu, apa pula warna langit dan mendungnja itu?” Kata-kata membasah bersama minuman, terucap dua manusia duduk di sofa, bukan kursi sering berada di ruang tamu beralamat di Jawa. Marno gelisah. Ia mungkin mengangeni duduk di kursi berselera Jawa ketimbang “tenggelam” di kemanjaan-empuk dan percakapan ngalor-ngidul sampai ke perpisahan dan bantal basah. Begitu.


Bandung Mawardi, penulis Berumah di Buku


190 tampilan
bottom of page