Daun dan Mata Iman
top of page
Cari

Daun dan Mata Iman


Bandung Mawardi


Pada pagi hari, perempuan bernama Ninik memetik daun-daun di sekitar rumah. Daun-daun itu hijau. Ia memilih daun singkong, daun jati, dan daun sirih. Ia tak bermaksud menjadikan daun-daun itu masakan. Di Ngerjopuro, Slogohimo, Wonogiri, Jawa Tengah, Ninik memang setiap hari berdaun. Ia “menaruh” daun-daun itu di kain. Daun untuk mata terpesona. Daun di pohon beralih ke kain.


Daun-daun dicetak di selembar kain. Ia memberi sebutan ecoprint. Ikhtiar mendapatkan nafkah dengan “menaruh” daun-daun di kain untuk diperdagangkan. Daun-daun setelah direndam dalam air cuka selama 30 menit dipasang di kain. Teknik tanpa mesin menderu atau tata cara rumit. Kain berdaun digulung menggunakan plastik. Pengukusan berlangsung selama 2 jam. Di kain, daun-daun dipungut. Lihatlah, ada gambar-gambar daun di situ! Cetakan bekas daun-daun tinggal diwarnai menggunakan bahan pewarna alami.



Jawa Pos, 19 Februari 2019


Kejadian rutin ingin mengabarkan ke kita tentang faedah daun di kain. Pengguna kain bakal takjub melihat bentuk-bentuk daun itu hasil cetakan sederhana, bukan lukisan atau cap-mesin. Kerajinan terjadi di rumah, bukan pabrik. Ninik menginginkan ada estetika berdaun di kain mengacu ke pepohonan di sekitar rumah. Kerajinan menghasilkan rezeki. Rutinitas itu memiliki ketetapan. Di setiap kain, Ninik memastikan ada daun singkong. Ia ingin daun singkong mengisahkan kekhasan Wonogiri sebagai “kota penghasil singkong.” Berita berdaun itu dimuat di Radar Solo-Jawa Pos, 19 Februari 2019. Kita membaca sambil mengingat sekian daun ada di sekitar rumah. Daun-daun hadir di pengisahan setelah “menetap” di kain-kain bisa digunakan untuk busana atau hiasan.



Bermula dari daun-daun di kain, kita berlanjut merenungi manusia, alam, dan Tuhan. Daun itu ada di cerita berjudul Daun Kering gubahan Trisno Sumardjo. Cerita ditulis pada 6 Juli 1951. Penulisan saat Indonesia sedang bergemuruh revolusi dan politik terlalu membara. Hari demi hari melulu bertema kekuasaan: membikin orang-orang keranjingan berslogan atau jenuh tak berkesudahan. Trisno Sumardjo tak mau pamer seruan, pekik, atau agitasi. Ia memilih membuat cerita, persembahan bagi pembaca ingin di pinggiran kubangan politik. Cerita bergelimang sindiran dan nasihat tak gamblang.


Pembuka suguhkan perlambang minta tafsiran: “Kisah ini chajalan belaka dan terdjadi dimusim rontok. Entah ditanah airku ada musim rontok atau tidak, namun demikianlah njata kepadaku dalam buah chajal ini. Tapi djikalau daun pohon jang rontok, mungkinlah ada apa-apa lainnja jang sedang menghadapi keruntuhannja, misalnja suatu segi kehidupan, misalnja djuga perasaan dikalbu jang mendangkal ataupun keruntuhan achlak.” Daun dipilih jadi perlambang. Daun mengering dan berjatuhan ke tanah sempat dimengerti sebagai “keruntuhan achlak.” Sindiran atas situasi politik membara dan berantakan di Indonesia.


Kerja politik sering abai tatanan akhlak untuk pemenuhan ketulusan, kejujuran, kesopanan, dan kemanusiaan. Politik mengganas justru menistakan nilai-nilai kemanusiaan.


Kerja politik sering abai tatanan akhlak untuk pemenuhan ketulusan, kejujuran, kesopanan, dan kemanusiaan. Politik mengganas justru menistakan nilai-nilai kemanusiaan. Rusak akhlak mengartikan pendasaran iman tak sanggup mengejawantahkan politik beradab. Daun kering rontok itu metafora Indonesia masa 1950-an. Trisno Sumardjo mengajak pembaca menata ulang permufakatan hidup berbangsa-bernegara: berpatokan religiositas dan adab berdemokrasi.

Sindiran di lamunan dimulai peristiwa “hudjan ribut menderu-deru disekitar rumah serta menggugurkan daun-daun dari pohon kedondong jang hampir gundul.” Daun-daun berjatuhan. Tokoh di cerita mengaku: “Maka daun kering jang terbaring lemah ditelapak tanganku itulah jang membisikkan kisah ini kepadaku.” Kita mungkin lama melupakan atau kehilangan pelbagai cerita gara-gara tak lagi memberi pandangan ke daun. Duh, daun pun terasa asing, terlepas dari peristiwa keseharian!


Pada masa 1970-an, para pembaca sastra di Indonesia terkesima dengan buku cerita berjudulSetangkai Daun Surga (1972) gubahan Cor Bruijn. Di Indonesia, cerita terbit dalam bentuk saduran oleh A Dt Madjoindo. Cerita religius, mengena dan “menenggelamkan” pembaca ke makna. Daun-daun menandai perbuatan baik, kesantunan, keikhlasan, kejujuran, kemuliaan, dan keimanan. Tokoh bernama Abdullah mengalami peristiwa-peristiwa penemuan daun-daun surga. Peristiwa bermula dari cerita dan pemenuhan iman.


Pada suatu hari, ibu Abdullah ditantang peramal untuk meminta kemungkinan nasib atau masa depan Abdullah. Sang ibu tak berharap Abdullah kelak jadi orang berkelimpahan harta. Ia cuma menginginkan Abdullah menjadi manusia saleh dan berbahagia. Si peramal lekas teringat cerita kuno: “Adapun kehendakmu itu ialah empat helai daun dari surga.” Konon, sejak nabi Adam turun ke dunia, daun-daun itu tak pernah lagi dilihat orang. Peramal meminta si ibu itu berpesan ke Abdullah agar mencari daun dari surga demi berbahagia: dunia dan akhirat.


Pencarian tanpa peta dan petunjuk. Pada suatu hari, Abdullah mendapat cerita dari seorang Yahudi. Cerita diwariskan dari leluhur: “Ketika Sitti Hawa terusir keluar dari surga, maka dipetiknya setangkai daun. Daun itu adalah empat helai dan empat macamnya. Sehelai merah daripada tembaga, sehelai putih daripada perak, sehelai kuning daripada emas dan sehelai lagi daripada intan. Daun itu dipegang Sitti Hawa erat-erat, supaya jangan terlepas. Setelah ia sampai di pintu surga, sangatlah ingin hatinya hendak melihat daun itu. Genggaman tangannya dibukanya. Malang tak dapat ditolak, ketika itu bertiup angin yang sangat kencang. Keempat helai daun itu terbang dari tangannya. Yang sehelai, yakni yang daripada intan, jatuh kembali masuk ke surga, yang tiga helai melayang ke dunia. Tetapi di mana jatuhnya daun-daun itu, hanya Allah yang tahu.”


Pencarian dalam keikhlasan bertemu orang atau mengalami peristiwa-peristiwa belum terpikirkan. Hari demi hari, keinginan mewujud dalam perbuatan luhur ke sesama, penghormatan pada alam, dan penguatan iman pada Tuhan. Daun menjadi lambang religiositas ketimbang petualangan heroik meminta pujian.

Kita mungkin tak pernah mendengar cerita itu melalui khotbah-khotbah atau tercantum di buku pelajaran agama, sejak kita di SD sampai berkuliah. Cerita kuno: aneh dan mengundang penasaran. Abdullah ingin mencari tiga daun berjatuhan ke dunia. Pencarian dalam keikhlasan bertemu orang atau mengalami peristiwa-peristiwa belum terpikirkan. Hari demi hari, keinginan mewujud dalam perbuatan luhur ke sesama, penghormatan pada alam, dan penguatan iman pada Tuhan. Daun menjadi lambang religiositas ketimbang petualangan heroik meminta pujian. Tiga daun pun diperoleh dengan segala risiko mendapat permusuhan, kebencian, dan hinaan. Abdullah justru menjadikan pencarian itu laku-religius: berbagi pesan dan kebaikan ke sesama manusia.


Penemuan tiga daun dari surga mungkin cerita agak “fantastik” bagi kita gara-gara jarang merenungi (lagi) tetumbuhan di kitab suci atau biografi para tokoh suci. Kita terlalu lama berjarak dari cerita-cerita untuk renungan religius. Daun-daun tak lagi dipandang dengan mata-iman. Pada abad XXI, kita membaca lagi tiga cerita mengenai daun dengan malu dan sesalan. Kita terlambat mengerti daun dan kehilangan petunjuk-petunjuk ke jalan pemaknaan tak berguguran. Begitu.


Bandung Mawardi, penulis Berumah di Buku

154 tampilan
bottom of page