Burung di Sawah
top of page
Cari

Burung di Sawah


Bandung Mawardi




Foto sawah kadang membikin kangen. Di Semarang, Jawa Tengah, sawah dibuat jadi tempat pelesiran disokong oleh pemerintah. Sawah untuk kunjungan orang-orang bepredikat turis memberi penghasilan bagi warga. Di situ, mereka melihat orang membajak sawah, mencangkul, dan menanam padi. Melihat tak cukup. Para turis pun berfoto dengan angan pamer di media sosial. Kita tak sedang mengangeni foto buatan para turis mengaku terpana pada sawah.

Kita melihat foto buatan wartawan bernama Raditya Mahendra Yasa dipasang di Kompas, 21 Januari 2019. Di halaman 16, foto hitam-putih itu berketerangan: petani membajak sawah menggunakan traktor dan kawanan burung kuntul sedang mencari makan. Peristiwa terjadi di Sendangrejo, Minggir, Sleman, Jogjakarta, 20 Januari 2019. Burung-burung kuntul pun memangsa sekian hama berkemungkinan merusak tanaman padi. Adegan pantas dirindukan meski kita gagal melihat kerbau dan luku di situ. Burung kuntul “bercakap” dan bermesraan dengan kerbau?

Di sawah, burung mencari makan dan “membantu” petani dalam pembasmian hama. Perang dengan hama tak harus pakai semprotan cairan kimia. Burung-burung rela mengabdi demi hidup dan keawetan sawah. Kita sengaja menulis “awet”. Di desa-desa, sawah sudah sulit awet jika dilihat oleh mata kaum berduit ingin mengadakan perumahan, perkantoran, pabrik, atau ruko. Mereka menginginkan sawah berubah fungsi, tak berpikiran burung-burung kuntul bakal kehilangan tanah-sumber pangan. Duit bakal menghabisi sawah, menjauhkan ingatan holopis kuntul baris.


Foto di Jogjakarta itu berbeda dengan berita-berita dari Jombang (Jawa Timur) dan Sragen (Jawa Tengah). Di Bangsri, Plandaan, Jombang, Jawa Timur, para petani bersedih gara-gara serangan burung emprit. Mereka memasang jaring berharap burung-burung gagal makan padi. Panen mungkin berkurang. Pasukan burung emprit itu musuh besar. Petani pun resah (Jawa Pos, 8 Januari 2019). Di Sragen, pejabat malah menginginkan burung-burung dara hidup dan beterbangan di taman kota. Pejabat menganjurkan para PNS iuran untuk membeli burung dara dan membuat kandang ditaruh di Taman Tirta Asri. Konon, anjuran berdalih pengiritan APBD (Solopos, 19 Januari 2019). Di situ, orang-orang bermimpi bakal melihat burung-burung dara berjumlah ribuan. Warga bakal berkunjung seperti sedang piknik di kota-kota Eropa. Mereka nggumun melihat burung dara.


Pada hari-hari mengawali 2019, berita-berita menuntun kita sinau burung-burung. Pengetahuan itu telah lama sirna tergantikan “burung” di gawai atau burung-burung di bendera partai politik. Burung di sawah dan taman, burung ingin makan dan beterbangan tanpa tembakan bedil, plintheng, atau lemparan batu. Burung-burung mencipta puisi-puisi alit, sebelum dipahami manusia untuk makanan atau mengindahkan foto. Burung-burung itu belum tergesa mencipta roman bersaing dengan Burung-Burung Manyar dan Burung-Burung Rantau gubahan Romo Mangun.

Sejak bocah, kita belum pernah diajak menggambar burung-burung dengan beragam bentuk dan nama. Burung cuma angka tiga menghadap ke bawah di gambar gunung dan sawah. Gagal dan terlambat sinau burung diejek oleh Derek Holmes dan Stephen Nash dalam buku berjudul Burung-Burung di Jawa dan Bali (1999). Mereka bilang Indonesia “sangat menyedihkan”, memiliki keberlimpahan khazanah margasatwa tapi cuma memiliki sedikit buku populer mengenai burung. “Jumlah burungnya saja mencapai sekitar 1.500 jenis dan lebih dari 400 jensinys adalah burung endemik Indonesia, yang tidak ditemukan di tempat lain,” tulis di buku tipis tapi sengat.


Foto di Kompas mengabarkan burung kuntul masih ada bersama para petani dan memberi imajinasi sawah masih “subur” di kepala kita, sebelum berdatangan kabar-kabar buruk. Dokumentasi di buku populer dan ilmiah mencatat ada burung blekok sawah, kuntul kerbau, dan kuntul kecil. Tiga burung disajikan pula dengan gambar elok. Kita mulai menduga bakal salah alamat saat mengangeni blekok atau kuntul. Pada tahun-tahun bakal datang saat sawah-sawah berkurang, kita mungkin melihat burung-burung cuma di buku. Kita perlahan tak memberi mata ke tempat berlumpur, berpindah ke halaman-halaman “ditanami” kata dan gambar. Begitu.


Bandung Mawardi, Kuncen Bilik Literasi Solo

435 tampilan
bottom of page