Buku, Sabu, Don Quixote
top of page
Cari

Buku, Sabu, Don Quixote

DI MEDIA sosial, orang-orang biasa pamer diri dan buku. Mereka mengabarkan telah membeli buku, mau membaca buku, atau selesai membaca buku. Di tatapan mata, buku-buku di foto itu memikat dan bermakna. Buku itu kertas. Penampilan buku semakin apik oleh kemahiran orang memotret dari pelbagai sisi. Kita diperkenankan mengetahui judul dan penulis. Di foto diri dan buku, kita membuat sangkaan-sangkaan selera orang membaca buku. Posisi raga dan letak buku dapat ditafsirkan taraf orang “kecanduan” buku.


Pameran foto diri dan buku di media sosial, dari detik ke detik, disaingi foto mungkin luput dari tatapan ribuan orang. Foto hasil jepretan Samuel Oktora dipasang di Kompas, 12 Juni 2019. Lima buku tampak sengaja dirusak atau dilubangi untuk menaruh sabu. Benda terlarang itu diselundupkan dalam buku. Pembawa sabu ingin mengelabui petugas di bandara. Di tatapan mata atau sensor sekilas, pelaku berharapan orang melihat itu buku saja. Tipuan malah terkuak. Petugas di Bandar Udara Internasional Husein Sastranegara, 11 Juni 2019, berhasil membongkar bawaan penumpang melakukan penerbangan dari Malaysia. Di hadapan petugas, buku itu mencurigakan. Buku-buku pun dibongkar. Halaman-halaman cerita di novel terbukti jadi tempat menaruh dua kilogram sabu.


Orang itu tega melakukan tindakan kejam merusak buku. Tampilan luar novel masih utuh dan apik tapi di bagian dalam “hancur”. Pelaku sengaja menjadikan buku untuk dihuni sabu. Teknik muslihat dengan melubangi buku terukur dan rapi berbentuk bujur sangkar dengan kedalaman sekian cm. Buku dijadikan berongga. Bungkusan sabu ditaruh di situ. Pada saat buku dalam kondisi tertutup, orang sulit mengira ada sabu mendekam bersama cerita “terputus” dalam novel mengalami penghancuran. Pelaku bukan pembaca novel tapi “penista” novel demi raihan untung atau kenikmatan semu. Buku digunakan dalam nalar bisnis sabu, bukan pengembaraan ke imajinasi bergelimang makna bersumber cerita. Ia kecanduan sabu, menolak kecanduan buku.





Pada abad XXI, buku dipaksa masuk dalam bisnis sabu. Sejarah baru sedang dicipta dengan merusak dan menghinakan buku di zaman mulai serba digital. Fernando Baez dalam buku berjudul Penghancuran Buku: Dari Masa ke Masa (2013) belum sempat mengulas buku dan sabu. Bisnis menghasilkan laba besar itu mulai sengaja melakukan penghancuran buku. Sekian novel dipilih untuk rusak demi mengantar sabu melintasi negara. Kita belum mengetahui jumlah buku dan judul-judul dalam pamrih bisnis sabu internasional. Kita bisa menganggap tindakan itu termasuk penghacuran atau pembunuhan buku dengan istilah “bibliosida” atau “librisida”. Fernando Baez mengingatkan bahwa penghancuran buku secara fisik mengartikan kebengisan pada ingatan. Buku itu “menjilid” memori manusia. Bisnis sabu menjadikan buku ditaruh di derajat kerendahan berakibat kerusakan imajinasi dan memori terceritakan.


Kita bisa menganggap tindakan itu termasuk penghacuran atau pembunuhan buku dengan istilah “bibliosida” atau “librisida”. Fernando Baez mengingatkan bahwa penghancuran buku secara fisik mengartikan kebengisan pada ingatan.

Peristiwa di Bandung itu mengingatkan kita agar “waspada” saat melihat buku tampak utuh. Pelaku sengaja mengejek kita dengan pembuatan slogan “bukuku, sabuku.” Pada 2004, terbit buku tebal berjudul Bukuku Kakiku berisi pengakuan para tokoh di Indonesia memuliakan buku, dari masa ke masa. Sindhunata urun tulisan berjudul “Ambil dan Bacalah” memberi pesan mengesankan: “Membaca bisa mengubah seseorang untuk menjadi seperti apa yang dibacanya. Itulah juga kisah Miguel de Cervantes tentang Don Quixote de la Mancha. Cervantes bercerita, siang-malam Don Quixote membaca novelas de caballeria, kisah-kisah kepahlawanan para ksatria… Malam tak membuat ia berhenti membaca. Ia menanti pagi dengan membaca, dan begitu pagi tiba ia masih terus membaca.” Don Quixote kecanduan buku, bukan sabu.


Kegandrungan membaca buku ada pula di sosok Goenawan Mohamad. Tahun demi tahun, ia keranjingan membaca berulang novel berjudul Don Quixote gubahan Miguel de Cervantes. Gandrung itu memicu penulisan puisi-puisi, terbit menjadi buku dijuduli Don Quixote (2011). Buku mungil itu dimuati pula dengan gambar-gambar buatan Goenawan Mohamad. Kecanduan Don Quixote berlanjut ke penulisan esai-esai dan pementasan teater. Semua berdalih Don Quixote. Edisi membaca dan menafsir Don Quixote berlanjut ke pameran tunggal di Semarang Galerry, Kota Lama, Semarang, 15 Juni-14 Juli 2019, berjudul Don Quixote dan Hal-Hal Yang Belum Sudah. Goenawan Mohamad menjelaskan bahwa pameran itu bukan bermaksud menghasilkan cerita tapi suasana.


Buku mungil itu dimuati pula dengan gambar-gambar buatan Goenawan Mohamad. Kecanduan Don Quixote berlanjut ke penulisan esai-esai dan pementasan teater. Semua berdalih Don Quixote.

Kita berharapan lima novel berongga untuk aksi bisnis sabu bukan novel berjudul Don Quixote. Pelaku ingin mengelabui dengan berlagak menjadi pembaca “kecanduan” buku. Tindakan itu membuktikan ia pengecut, bukan ksatria seperti diimajinasikan tokoh buatan Miguel de Cervantes. Si pengecut berhasil ditangkap dan harus berurusan hukum. Ia bukan pembaca buku tapi pemburu laba besar dari transaksi sabu. Pada abad XXI, kita masih bisa membuat daftar panjang orang-orang kecanduan buku (cetak). Goenawan Mohamad selaku “pecandu” novel Don Quixote tentu masuk daftar.


Kita ingin daftar kecanduan sabu wajib berkurang. Para pecandu itu telah meremehkan kaum keranjingan buku. Tindakan merusak lima novel menjelaskan penistaan buku saat kita masih bergairah mengajak orang-orang berpihak ke buku, bukan sabu. Kita memilih buku untuk kewarasan dan kegirangan. Kita pun sadar risiko keranjingan buku. Sindhunata membahasakan bahwa pembaca buku bakal masuk ke labirin: sekali masuk tak keluar lagi. “Kutukan” itu indah ketimbang jatuh menjadi pecandu sabu dan menghinakan buku. Begitu.


Bandung Mawardi,

Kuncen Bilik Literasi Solo

FB: Kabut

283 tampilan
bottom of page