Berkebaya: Sejarah dan Selasa
INGATAN dan pengisahan (sejarah) Indonesia terus berlanjut. Ingatan penting dari perempuan bergerak di politik dan pers bernama SK Trimurti: “Saya berjejer dengan zus Fatmawati, berdiri di depan bendera, berhadapan dengan Bung Karno dan Bung Hatta, yang berdiri di beranda yang lebih tinggi dari kami. Hati saya berdebar-debar ketika melihat sepotong merah putih jahitan zus Fatmawati itu berkibar” (Ipong Jazimah, SK Trimurti: Pejuang Perempuan Indonesia, 2016).
Foto SK Trimurti dan Fatmawati tampak dari belakang. Fatmawati turut di sejarah dengan menjahit bendera dan mengenakan kebaya dalam pengibaran bendera merah-putih, 17 Agustus 1945. Di samping kanan Fatmawati, foto lawas itu menampilkan para perempuan dalam dandanan modern, mengenakan baju dan rok. Mereka adalah laskar dan penggerak politik kebangsaan. Kebaya di peristiwa bersejarah bersanding dengan busana terpengaruh Eropa. Ingat kemerdekaan, ingat kebaya.
Ingatan itu muncul lagi dalam acara 1.000 Kebaya untukmu Indonesia, 25 Agustus 2019. Kaum perempuan mengenakan kebaya berjalan dari Museum Gunung Merapi menuju Griya Persada Convention Hotel and Resort, Jogjakarta. Di sekian tempat, mereka berhenti untuk melantunkan Indonesia Raya. Acara dimaksudkan melestarikan kebaya mumpung Agustusan. Misi lanjutan adalah pariwisata, mengundang orang-orang agar berkunjung ke Jogjakarta. Berita di Solopos, 26 Agustus 2019, memang tak memuat ingatan para perempuan berkebaya di Jogjakarta ke sosok SK Trimurti dan Fatmawati. Kebaya jadi pilihan tanpa “dibebani” sejarah. Para perempuan berkebaya dalam film berjudul Bumi Manusia pun seperti terlewat tanpa perlu renungan. Acara di Jogjakarta dan film itu meriah meski belum membuka lagi lembaran-lembaran sejarah para perempuan dalam membentuk dan mengartikan Indonesia, dari masa ke masa.
Indonesia di abad XXI memang masih bertema kebaya. Ingatan kita pada foto-foto Kartini mengenakan kebaya dan kaum perempuan pergerakan di abad XX berkebaya tetap memiliki sambungan di masa sekarang. Indonesia setia bercerita kebaya. Cerita itu berbeda makna, dari masa ke masa. Dulu, embusan modernitas sempat memicu perdebatan sengit mengenai kepatutan perempuan mengenakan busana-busana “modern” mengikuti kalangan perempuan Eropa. Di tanah jajahan, para perempuan mengenakan busana mungkin di pemenuhan adat atau pengesahan identitas, sebelum ada permainan metafora tentang belenggu, peremehan, kolot, dan feodal. Busana menjadi tema diributkan bereferensi politik, adat, agama, pendidikan, etika, dan modernitas
Cerita kebaya sudah berjalan jauh. Pada 2019, kebaya dimunculkan lagi di diskusi dan gerakan bersama pelbagai komunitas di Indonesia. Gerakan Indonesia Berkebaya belum capek mengajak kaum perempuan mengenakan kebaya berpijak ke janji bersama: hidup di negeri berbhinneka tunggal ika dan berlandaskan Pancasila. Kebaya itu simbol. Pada kebaya, sekian perempuan ingin memberi dan mengimbuhi makna kebangsaan. Kebaya diakui busana nasional meski lampiran-lampiran sejarah agak tercecer untuk disampaikan ke publik. Gerakan itu dimulai sejak 2014. Gerakan ingin dirutinkan adalah Selasa Berkebaya. Pada setiap Selasa, kaum perempuan dianjurkan berkebaya saat di kantor, pasar, dan tempat-tempat publik. Pengenaan kebaya berpesan keindonesiaan, melampaui dari indah, cantik, dan sopan.
Tema penting itu dibicarakan dalam diskusi di Museum Nasional, Jakarta, 16 Juli 2019. Direktur Jenderal Kebudayaan Kemdikbud Hilmar Farid menjadi pembicara memberi seruan: “Belakangan, kesadaran kita terhadap kekayaan budaya, salah satunya baju nasional, agak meredup. Karena itu, gerakan-gerakan dan diskusi-diskusi tentang pentingnya pelestarian kebaya sebagai bagian dari budaya Indonesia harus dijalankan terus-menerus. Dengan demikian, kita akan dipersatukan oleh Indonesia” (Kompas, 17 Juli 2019).
Pada masa Orde Baru, Soeharto rajin memberi pengumuman mengandung perintah-perintah demi kesuksesan pembangunan nasional. Kebaya masuk dalam pengertian mengisahkan Indonesia. Kaum perempuan berkebaya ada di alur turut di pembangunan. Pada 1974, Toeti Heraty berbagi cerita para perempuan berkebaya di hari Minggu, bukan Selasa. Pengarang dan ahli filsafat itu menggubah puisi berjudul “Wanita”, dokumentasi masa lalu saat kita membaca bersanding dengan berita mengenai Gerakan Selasa Bekebaya: hari ini minggu pagi kulihat tiga wanita tadi/ berjalan lambat karena kainnya kain berwiru/ meninggalkan rumah depan menuju jalan/ terlentang antara pohon palma berderetan// jari hati-hati memegang wiru/ sedangkan tangan lincah mengelus rambut rapi/ kenakalan kerikil menggoyahkan tumit selop tinggi/ belum lagi angin melambaikan selendang warna-warni. Pemandangan itu seperti pentas angun dan repot gara-gara berkebaya. Mereka mau berpergian tapi harus hati-hati dan menjaga kehormatan dengan pengenaan kebaya.
Pada masa berbeda, kebaya itu kebingungan. Di selembar surat dikirimkan ke redaksi. Surat itu dimuat di Femina edisi 7-13 Februari 1991 untuk turut diketahui para pembaca. Pengirim surat bernama Rini tinggal di Jakarta: “Saya sering memperoleh undangan yang didalamnya tercantum bahwa ibu-ibu harus mengenakan pakaian nasional. Apakah itu berarti kebaya model Jawa atau kebaya Kartini seperti anggapan sebagian ibu-ibu? Yang pernah saya baca di buku etiket Ria Pembangunan, pakaian nasional itu adalah pakaian berbagai daerah seperti baju kurung Sumatra, kebaya Sunda, kebaya Jawa, kebaya Manado, dan lain sebagainya, yang masih belum dimodifikasi. Jadi masih asli. Mana yang betul, juga mengenai aksesorinya. Adakah ketentuan baku mengenai pakaian nasional yang berlaku untuk seluruh Indonesia?” Kebingungan dialami jutaan perempuan di Indonesia. Cara berpakaian istri para pejabat, dan tokoh publik sering mengarah ke kebaya khas Jawa. Kebaya itu dikenakan di acara-acara resmi kenegaraan dan formal. Di mata kaum perempuan, busana itu jadi contoh dan dianggap berselera nasional.
Surat mendapat jawaban dari Titi Subiyakto. Kita membaca sambil mengenang masa 1990-an ada persoalan pelik mengenai busana di Indonesia, terutama di kalangan perempuan. Titi menjawab: “Pada umumnya para ibu memilih kebaya Jawa atau Kartini sebagai pakaian nasional dan ini sudah diterima secara menyeluruh di kepulauan Indonesia.” Anggapan itu mengingatkan kita pada sosok Ibu Tien Soeharto sering mengenakan kebaya. Penguatan kebaya Jawa juga tampak dengan dikenakan oleh para ibu berpredikat menteri atau tokoh penting di politik. Kebaya mereka menjadi referensi. Mereka seperti bertugas melestarikan warisan Kartini. Warisan itu model kebaya, belum tentu pemikiran-pemikiran Kartini. Sebutan “kebaya Kartini” terasa aneh tapi pengajaran itu berlangsung di sekolah-sekolah. Pada peringatan Hari Kartini atau hari-hari besar nasional, pihak sekolah kadang mengadakan acara mengharuskan para murid berpakaian daerah-nasional. Kebaya seperti pernah dikenakan Kartini di masa lalu lazim dipilih berdalih kebangsaan atau kepantasan.
Surat dan jawaban itu mengabarkan dulu pernah ada usaha membuat peraturan bertema pakaian nasional. Peraturan merepotkan ke pihak ibu ketimbang bapak. Bapak mengenakan celana panjang, jas, dasi, peci, dan sepatu sudah dianggap sopan. Di pihak ibu, busana itu bisa memberi kesibukan dan kebimbangan. Titi memberi penjelasan lanjut: “Ciri khas busana Indonesia adalah selendang, walaupun untuk kebaya Kartini tidak diharuskan.” Selendang mengingatkan lagi ke Ibu Tien Soeharto. Di pelbagai acara, beliau sering berselendang. Di mata kaum perempuan, selendang itu khas dan “wajib” ditiru jika ingin memenuhi kaidah berpakaian nasional.
Dari masa ke masa, kebaya itu cerita membentuk Indonesia dengan tokoh-tokoh pantas dikenang dan masuk album sejarah Indonesia. Pada masa Orde Baru, kita selalu ingatan perempuan berkebaya adalah Ibu Tien Soeharto meski tak melakukan tiruan mutlak ke kebaya biasa dikenakan Kartini. Pada 1975, peresmian Gedung Perjuangan Wanita di Jakarta memiliki acara pertemuan pejuang-pejuang wanita. Di depan gedung, mereka berfoto mengenakan kebaya mengandung makna anggun, tangguh, berani, dan lembut (Bahder Djohan, Di Tangan Wanita, 1977). Kita mulai mengingat tokoh-tokoh dari masa lalu, sejak masa kolonial sampai revolusi.
Di kancah kekuasaan, perempuan berkebaya itu bernama Fatmawati. Revolusi menjadi lembut saat melihat Fatmawati berkebaya mendampingi Soekarno di pelbagai acara (Rachmawati Soekarno, Bapakku, Ibuku, 1985). Kebaya pun bertokoh orang politik bernama Supeni. Pada 1946, Supeni bergabung ke PNI (Partai Nasional Indonesia) berdalih ingin terlibat dalam partai politik. Pada masa 1950-an, Supeni selalu berkebaya untuk menggerakkan PNI. Pada saat menjadi anggota DPR dan Konstituante, ia selalu berkebaya berseru marhaenisme, demokrasi, Pancasila, konstitusi, dan pelbagai hal (Paul Tista, Supeni: Wanita Utusan Negara, 1989). Para perempuan berkebaya itu mungkin bisa jadi panutan bagi para perempuan ingin berkebaya setiap Selasa di situasi Indonesia abad XXI. Begitu.
Bandung Mawardi,
Kuncen Bilik Literasi Solo
FB: Kabut
Comments