Berkat Sabun Mandi
Bandung Mawardi
HARI-HARI di rumah tapi tak perlu mengharamkan mandi. Konon, mandi dengan sabun membuat orang merasa segar, wangi, dan sehat. Mandi itu mengharumkan! Di Kompas, 21 Juni 2020, kita merenungi diri dan sabun mandi. Simak saja Minggu bersabun mandi: “Harum lemongrass alias serai meruap memenuhi kamar mandi. Wanginya tipis, tetapi indera penciuman tetap mengenalinya. Usapan sabun menghasilkan busa yang sedang saja di kulit. Bilasan air menyisakan rasa kesat bersih, tetapi tidak kering.” Kalimat-kalimat untuk orang mandi dengan sabun natural atau buatan tangan. Pada abad XXI, sabun mandi tetap menentukan pengalaman tubuh meski ratusan merek sabun mandi tersedia di toko dan warung. Sabun mandi itu selera dan diinginkan berdampak, kompensasi dari bahan dan harga. Sekian orang malah berani mengaku kebahagiaan secuil bisa dinikmati berkat sabun mandi.
Dulu, orang-orang Indonesia itu sering sengsara. Segala situasi membentuk kepasrahan atau keberanian. Di situasi buruk, kemauan hidup masih mungkin dibuktikan dengan segala keterbatasan. Pada masa pendudukan Jepang, orang-orang ditimpa kesulitan setiap hari, mulai beras sampai pakaian. Soekarno mengerti situasi buruk bakal menambahi sengsara. Sekian siasat mesti diamalkan untuk hidup dan memungkinkan mencipta terang. Soekarno memberi seruan: “Kami tidak mempunjai sabun. Kusampaikanlah kepada tetangga kami, supaja membuat sabun dari minjak-kelapa dan abu daun-kelapa jang dibakar. Abu itu mengandung bahan kimia jang berbuih djika ditjampur dengan minjak” (C Adams, Bung Karno: Penjambung Lidah Rakjat Indonesia, 1966).
Orang dalam situasi sulit tetap dianjurkan mandi demi kebersihan dan kesehatan. Soekarno dan kaum muda berpikir sabun mandi. Kita mungkin luput memikirkan itu saat membaca buku-buku sejarah garapan Ben Anderson, Kahin, Sartono Kartodirdjo, atau Onghokham. Pada masa pemerintahan kolonial Belanda dan masa pendudukan Jepang, mandi itu penting. Orang memang harus makan, berpakaian, dan memiliki tempat untuk hidup. Sabun mandi pun penting meski memiliki imbuhan-imbuhan makna, melampaui kebersihan raga.
Kita ingin mengingat perempuan dan sabun mandi di masa kolonial. Pada masa 1930-an, jumlah kaum perempuan mampu membaca-menulis dalam bahasa Belanda dan Indonesia kisaran 34.000 orang. Jumlah itu berkaitan dengan mutu pendidikan dan pers. Penerbitan sekian majalah memiliki sasaran pembaca adalah perempuan. L Ayu Saraswati dalam buku berjudul Putih: Warna Kulit, Ras, dan Kecantikan di Indonesia Transnasional (2017) menjelaskan bahwa terbitan-terbitan surat kabar era kolonial “menyediakan bukti berlimpah tentang representasi perempuan Kaukasia sebagai ideal kecantikan dalam wacana kecantikan yang dominan, dan produk kecantikan yang konon bisa memutihkan kulit juga sudah dipasarkan.” Usaha menengok masa lalu menuntun kita membincangkan pendidikan, pers, perempuan, dan sabun mandi.
Iklan-iklan sabun mandi di pelbagai majalah menjual gagasan bahwa perempuan Kaukasia itu ideal kecantikan. Pada masa 1920-an, tercatat iklan-iklan sabun mandi sering muncul dan berpengaruh: Lux dan Palmolive. Iklan dimuat di majalah berbahasa Belanda, Indonesia, dan Jawa. Ayu Saraswati menggunakan sumber-sumber: De Huisvrouw in Indie, Bintang Hindia, Fu Len, Keng Po, Pewarta Arab, Djawa Baroe, dan Soeara Asia. Pada masa berbeda, sumber untuk mengetahui sebaran sabun mandi itu kecantikan dan putih terdapat dalam majalah Dunia Wanita, Ketjantikan, Wanita, Pantjawarna, Puspa Wanita, dan Femina. Sabun mandi dianggap penting dalam pengiklanan menampilkan perempuan-perempuan asing sebagai acuan utama, berlanjut dimunculkan bintang-bintang iklan dari kalangan bumiputra. Bermula dari sabun mandi, kaum perempuan di Indonesia berhak memilih selera dan memaknai raga di imajinasi kecantikan global.
Kita mengajukan contoh dari sumber berbeda. Kadjawen, majalah berbahasa Jawa terbitan Balai Poestaka sering memuat iklan sabun mandi. Kita simak iklan di Kadjawen edisi 4 Juli 1941: “Boeat awet moeda dan ketjantikan, saboen wangi Palmolive”. Iklan mengajukan gambar perempuan pribumi. Perusahaan sabun mandi sudah membuat riset dan sadar sasaran dalam pemasaran. Godaan cantik dan wangi diharapkan meningkatan pengguna Palmolive. Kita simak: “Palmolive sedap sekali haroemnja, oleh karena tjampoeran dari 17 roepa minjak-minjak wangi jang berharga”. Kita menduga sabun mandi itu bisa terbeli dan digunakan oleh perempuan di kalangan menengah-atas. Orang tak mau boros boleh membuat sabun sendiri. Di Daulat Ra’jat edisi 20 Januari 1932, terbaca iklan buku berjudul Bikin Saboen susunan Abdullah Soamalon. Orang-orang diajak membuat sabun dengan resep murah dan sederhana.
Iklan terdahulu di Kadjawen edisi 30 Januari 1940 masih menggoda dengan wangi. Keterangan: “Sekalian pemakai saboen Palmolive berasa girang sekali … Palmolive adalah saboen jang paling bagoes dan jang paling himat dipakenja diantara semoea saboen wangi”. Sabun itu “terbaca” berselera Eropa atau Amerika Serikat, menghadirkan kebaruan bagi perempuan Indonesia. “Asing” sering dianggap unggul dan kiblat ketimbang tradisi sudah dimiliki dengan penggunaan sekian tanaman menjadi sabun untuk mandi. Pada masa kolonial, kaum perempuan pribumi mendapat iming-iming putih, wangi, dan cantik melalui sodoran iklan sabun mandi di pelbagai majalah.
“Asing” sering dianggap unggul dan kiblat ketimbang tradisi sudah dimiliki dengan penggunaan sekian tanaman menjadi sabun untuk mandi. Pada masa kolonial, kaum perempuan pribumi mendapat iming-iming putih, wangi, dan cantik melalui sodoran iklan sabun mandi di pelbagai majalah.
Perempuan dan sabun mandi ada dalam babak-babak sejarah berkaitan bisnis, politik, identitas, dan lain-lain. Rintisan perusahaan sabun mandi di Indonesia justru diawali oleh Jerman. Pada 1919, berdirilah pabrik di Garut. Pabrik bernama Georg Dralle itu memproduksi sabun bermerek Boeroeng dan Mady. Di Bandung dan Batavia, ada pula pabrik sabun mandi dengan merek berbeda. Pada masa 1930-an, Unilever turut dalam penjualan sabun mandi di tanah jajahan. Perusahaan berpusat di Belanda itu mulai membuat dan memasarkan sabun mandi untuk digunakan kaum perempuan di Indonesia: Lux, Lifebuoy, dan Capitol (HW Wamsteker, 60 Tahun Unilever di Indonesia 1933-1993, 1993). Keberadaan pabrik-pabrik sabun mandi menandai jumlah pengguna sabun mandi berselera Eropa bagi kalangan bumiputra terus bertambah. Kaum perempuan menjadi bintang iklan dan sasaran dari penjualan sabun mandi.
Keberadaan pabrik-pabrik sabun mandi menandai jumlah pengguna sabun mandi berselera Eropa bagi kalangan bumiputra terus bertambah. Kaum perempuan menjadi bintang iklan dan sasaran dari penjualan sabun mandi.
Kita mulai memiliki gambaran masa lalu itu memuat bab sabun mandi. Pembesaran selera memerlukan pemicu di industri hiburan. Para bintang iklan sabun mandi sering artis film Amerika Serikat. Pada masa 1930-an, orang-orang beradab modern sudah ketagihan menonton film atau “gambar idoep”. Mereka lumrah mengidolakan artis-artis film Amerika Serikat. Produksi film bercitarasa Indonesia juga mulai dilakukan meski masih sulit menandingi mutu film-film asing. Artis film bernama Roekiah terpilih dalam pembuatan iklan-iklan sabun mandi. Kita mengerti ada jalinan surat kabar, film, dan sabun mandi. Kaum perempuan menginginkan dan berimajinasi memiliki warna kulit dan kecantikan seperti perempuan-perempuan dalam film.
Masa lalu itu belum diceritakan lengkap dengan memuat pengakuan kaum perempuan dalam biografi atau memoar. Mereka mungkin mula-mula menganggap sabun mandi tak penting dalam ikhtiar mengungkap sejarah. Kini, kita memahami tapi telat membuat susunan sejarah menempatkan sabun mandi berpengaruh dalam pembentukan identitas, nasionalisme, kecantikan, dan imajinasi keglobalan di masa kolonial. Sabun mandi cenderung selalu bertokoh dan bercerita perempuan. Kita bisa membandingkan dengan industri sabun mandi abad XXI semakin membesarkan imajinasi kecantikan, putih, dan wangi. Bisnis besar sabun mandi justru membuat kita terpesona tanpa sempat menaruh dan mencatat di arus sejarah Indonesia, dari masa ke masa. Begitu.
_________
Bandung Mawardi,
pemenang 3 Sayembara Kritik Sastra DKJ 2019,
Kuncen Bilik Literasi, Penulis Buku Terbit dan Telat (2020)
FB: Kabut
Comments