Berbaris!
top of page
Cari

Berbaris!

HARI-hari menjelang Agustus, orang-orang memiliki nostalgia saat masih bocah: mengikuti pelbagai acara untuk memperingati Hari Kemerdekaan. Lomba, upacara, dan pentas seni sering teringat. Murid-murid mungkin diminta ikut lomba gerak jalan atau berbaris dalam rangkaian acara Agustusan. Di kampung-kampung, para ibu turut dalam lomba baris-berbaris dengan latihan hampir setiap hari. Lomba-lomba itu memiliki ketentuan kompak, tertib, dan rapi. Ibu-ibu menjadi peserta lomba baris-berbaris selain lomba masak. Bapak-bapak malah jarang ikut baris-berbaris.


Ingatan itu berkaitan dengan nostalgia Bre Redana di Kompas, 21 Juli 2019. Ia mengingat Mei dan sekolah dengan baris-berbaris. Ingatan belum tentu mengarah ke Agustus. Nostalgia pernah jadi murid malas di baris-berbaris disambung kritik ke situasi pendidikan mutakhir. Bre Redana menulis kritik tentang masa orientasi di sekolah selalu ada baris-berbaris dengan corak militer. “Disiplin hendak ditegakkan atas dasar kepatuhan, menjadi disiplin militer bukan disiplin kewajaran hidup,” tulis Bre Redana. Kemarahan ditilik dari biografi masa lalu dan sejarah pendidikan di Indonesia. Orang-orang mungkin menuduh militerisme di sekolah diberlakukan dan menguat pada masa Orde Baru. Tuduhan bisa salah.


Di akhir tulisan, Bre Redana dalam usia sudah tua masih sanggup memberi lelucon sinis: “Tak terkecuali sekarang ini, entah masuk golongan apa saya, tapi saya tidak suka militerisme di sekolah. Beberapa kali siswa mati pada masa orientasi. Baris-berbaris dianggap refleksi nasionalisme adalah pemikiran menggelikan tingkat internasional.” Ia melakukan pengamatan dari lakon fasisme dan komunisme di dunia. Di Indonesia, militerisme pun mewabah melalui sekolah-sekolah tanpa harus mengusung dua ideologi pernah menggegerkan dunia. Sekolah dijadikan oleh penguasa untuk tanah subur penanaman militerisme. Pengamatan itu tak pernah mencantumkan tahun dan tokoh berlatar Indonesia. Bre Redana mungkin kesulitan atau capek jika melacak kesejarahan baris-berbaris di Indonesia dan pelestarian masih berlangsung sampai abad XXI.


Pada masa 1950-an, Indonesia ingin berlari dengan revolusi. Kerja besar dan melelahkan. Revolusi pun dimengerti belum selesai. Sekolah dipilih oleh penguasa turut menggerakkan revolusi. Murid dan guru memiliki “kewajiban” di laju revolusi dengan lagu-lagu, belum wajib dengan pidato, bedil, atau duit. Lagu-lagu dipilih agar dimengerti murid-murid, sejak berada di “sekolah rakjat”. Lagu jadi rangsangan dan pengawetan nasionalisme. Lagu-lagu tentu bersemangat, bukan lagu berselera cengeng, patah hati, atau sendu.


Pada 1948, dibentuklah Panitia Pengumpulan Lagu-Lagu Buat Sekolah Rakjat oleh Kementerian Pendidikan, Pengadjaran dan Kebudajaan. Hasil kerja mereka berupa buku berjudul Marilah Bernjanji (1950), dua jilid. Buku berisi puluhan lagu gubahan Ibu Sud, Daldjana, Hardjasoebrata, Mutahar, Kartini, Ananda Kusuma, dan lain-lain. Pemerintah jadi pihak penerbit. Buku berisi lagu-lagu dianjurkan diajarkan di sekolah-sekolah. Konon, lagu-lagu sudah dipilih serius untuk nasionalisme, alam, keluarga, pendidikan, dan militer. Pada masa 1950-an, selera militer sudah ada di lagu-lagu. Bre Redana tak mengingat lagu tapi baris-berbaris di masa 1960-an.


Lagu-lagu di buku Marilah Bernjanji juga bercerita tentang berbaris. Kemunculan puluhan partai politik dan pergelaran kekuasaan masa 1950-an memang mementikan berbaris. Indonesia mulai setara dengan pelbagai negara. Berbaris adalah peristiwa revolusioner, tak cuma militer. Kita mengandaikan lagu-lagu di buku dihapalkan oleh murid-murid. Masa 1950-an menjadi masa pengenalan dan penguatan militerisme di sekolah. Tentara mungkin perlu datang ke sekolah.

Militerisme itu disenandungkan dan diperistiwakan oleh murid-murid. Lagu bergelimang militerisme.

Pak Dal (Daldjana) menggubah lagu berjudul “Berbaris”. Kita imajinasikan lagu itu dilantunkan bersama dalam kelas atau di lapangan: Tu wa, tu wa, berbaris/ Tegak gagah perkasa/ Tua muda berbaris/ Semua// Ajo kawan berbaris/ Ri nan, ri nan, bersama/ Putra putri berbaris/ Semua. “Tu” itu satu. “Wa” itu dua. “Ri” itu kiri. “Nan” itu kanan. Murid-murid dibiasakan berbaris. Ingat, masa itu berbaris menjadi cara membentuk kebersamaan dan disiplin. Murid-murid mungkin mengandaikan diri sudah tentara atau pasukan perang di masa lalu. Masa itu belum terpaut jauh dari pengalaman penjajahan. Kaum muda dan tua berani dan rela jadi pasukan melawan pemerintah kolonial Belanda dan Jepang. Mereka rutin latihan berbaris. Di masa pendudukan Jepang, berbaris mungkin kewajiban bermisi membentuk disiplin dan kepatuhan. Masa berbaris itu diceritakan ke anak-anak menjadi heroisme dan mendapat pemaknaan nasionalisme.


Pada peristiwa agresi militer, anak-anak pun mendapat pengisahan pasukan gerilya atau laskar. Berbaris itu mengartikan kemauan gagah, berani, bersatu, tertib, patuh, dan kekuatan. Cerita-cerita heboh mengenai berbaris semakin meresap ke imajinasi anak-anak. Pada masa 1950-an lumrah berbaris itu berlangsung di sekolah atau dianggap “pelajaran” penting bertema nasionalisme. Puisi, cerita pendek, dan lagu bertema militerisme gampang masuk ke sekolah. Di desa atau kampong, bocah-bocah pun biasa bermain dengan selera militer. Bocah menjadi tentara. Mereka berbaris atau perang-perangan. Pasukan itu putra dan putri. Berbaris bukan mutlak bertokoh lelaki. Tema penting mumpung Indonesia masih berlakon revolusi.


Kita menilik lirik lagu gubahan Hardjasoebrata dan Bu Nok. Lagu berjudul “Barisan Kita” mengandung imajinasi militer: Drang drang drang/ Pukulah gendering/ Tet tet tet/ Tiuplah terompet// Lekas siap sedia djalan barisan kita/ Siap barisan kita djalan gagah perwira// Drang drang menurut genderang/ Tet tet te menurut terompet. Berbaris itu permainan. Militerisme terasa tapi menggembirakan bagi anak-anak. Mereka mungkin mengandaikan dalam perang atau mencicil janji bakal membela negara bila kelak terjadi perang. Berbaris bukan paksaan, tapi gembira bersama.


Kita belum selesai mendapat suguhan lagu-lagu bertema militer. Bre Redana mungkin tercengang mendapatkan puluhan lagu wajar diajarkan di sekolah-sekolah. Lagu memastikan berbaris itu permainan, kesehatan, dan pelajaran. Kita simak lirik dalam lagu berjudul “Berbaris” gubahan Pak Dal. Anggaplah lagu seri kedua. Anak-anak bersenandung: Berbaris kita gembira bersama/ Berdjalan perwira bersama/ Badan sehat dan kuat hilang rasa duka// Marilah ikut berbaris bersama. Lagu itu pasti “membatalkan” tuduhan bahwa berbaris itu “paksaan” atau “kewajiban” tak berhikmah. Di lagu, ada pesan mengenai sehat dan kuat, menghilangkan duka. Anak-anak pada masa 1950-an tak sempat membantah. Mereka belum perlu curiga ke pesan terselubung dalam lagu.


Ibu As dalam lagu berjudul “Berbaris” menambahi mutu atau makna. Kita simak: Berbaris bersama tegap gagah perwira/ gendering menderu langkah menuruti irama/ Serentak madju kiri kanan berganti/ Madju melangkah gagah teratur dan rapi. Lagu gamblang memuat ajaran-ajaran mungkin bercorak militer: gagah, serentak, teratur, dan rapi. Lagu digubah untuk membuat anak-anak semakin sadar faedah berbaris. Anak-anak dirangsang menginginkan berbaris, bukan menganggap itu pelajaran atau peristiwa menjemukan. Lagu membuat berbaris jadi “merdu”.


Kita sudahi dulu mengingat lagu-lagu lama. Berbaris masih diajarkan di sekolah-sekolah. Pemerintah dan guru-guru menganggap itu penting dalam capaian tujuan-tujuan pendidikan. Kita mungkin bosan, capek, dan trauma. Berbaris agak mustahil hilang dari lakon pendidikan di Indonesia. Tuduhan bahwa berbaris adalah militeristik sejak mula sudah terbantahkan dalam lagu-lagu diajarkan ke sekolah-sekolah di seantero Indonesia. Kita mungkin terkejut dengan gairah para seniman menggubah lagu anak bertema militer. Lagu-lagu itu pernah disenandungkan bersama. Pada masa berbeda, lagu-lagu anak bertema militeristik mungkin berkurang berbarengan “kelangkaan” lagu anak-anak di abad XXI. Kita semakin sulit dalam melakukan ralat di pendidikan-pengajaran saat berbaris adalah keutamaan, dari masa ke masa. Berbaris selalu penting. Begitu.



Bandung Mawardi,

Kuncen Bilik Literasi

FB: Kabut


171 tampilan
bottom of page