Basis, Wacana yang Memungkinkan Manusia Makin Manusiawi
- Sindhunata
- 31 Des 2019
- 8 menit membaca
Diperbarui: 15 Mei
Sebagai majalah kebudayaan umum, Basis tak dapat dipisahkan dari spiritualitas intelektual, warisan dua nama yang di Indonesia dikenal sebagai empu humaniora, Prof. Dr. N. Driyarkara dan Prof. Dr. Piet Zoetmulder.
Basis yang kini tampil dengan wajah baru, ingin tetap menghidupi warisan itu. Karenanya, Basis bermaksud menjadi majalah intelektual yang dapat menjadi pancaran cita-cita humaniora. Artinya, wacana yang memungkinkan manusia menjadi makin manusiawi.
Basis adalah majalah yang tua. Ia lahir tahun 1951. Basis hanyalah majalah kecil. Justru karena kekecilannya itu yang membuatnya mampu bertahan. Pada Basis, pepatah Schumacher small is beautiful tampaknya masih harus ditambahi dengan small is everlasting. De facto, dengan jatuh bangun dan dalam pasang surutnya, Basis bertahan sampai kini.
Dalam rapat pertama Badan Penerbit Basis yang tertulis dalam notulen berbahasa Belanda, demikianlah terkisah kelahiran Basis. Tanggal 29 Maret 1951, sejumlah Yesuit, antara lain J. Bakker, A. Djajasepoetra, J. Dijkstra, R. Soekarta, G. Vriens, dan P. Zoetmulder mengadakan vergadering di Kolese Ignasius, Jl. Abu Bakar Ali no. 1 Yogyakarta. Sesuai dengan anjuran superior missionis R. P. C. de Quay, SJ, rapat itu memutuskan untuk menerbitkan sebuah majalah sosial budaya. Majalah itu hendaknya berkenaan dengan pikiran-pikiran di bidang sosiologi, ekonomi, pendidikan, keluarga, dan bidang kemasyarakatan lainnya. Majalah akan bertebal 42 pagina, harganya Rp7,5 per kuartal dan Rp2,5 per bulan. Diperkirakan, akan diperoleh kira-kira 1.200 sampai 1.500 pelanggan. Majalah itu hendaknya tidak eksklusif, tapi mencakup masyarakat seluas-luasnya. Majalah itu hendaknya sungguh-sungguh berdasarkan de indonesische gronslag. Karena itu, sebagai redaktur, hendaknya dipilih orang Indonesia asli. Rapat memilih Driyarkara sebagai hoofredacteur. Tapi karena Driyarkara masih menyelesaikan studinya di Roma, maka sementara jabatannya dipegang oleh Soekarta, SJ. Sebagai sekretaris dan pelaksana administrasi G. Vriens, SJ.
Pada tanggal 14 Mei 1951 diadakan rapat kembali. Pada rapat itu terbentuk Badan Penerbit Basis yang sekaligus juga merundingkan anggaran dasar yang disahkan pada tanggal 2 Oktober 1952 dengan akta No 7, notaris Tan A Sioe di Semarang. Susunan pengurusnya adalah A. Djajasepoetra (yang kemudian menjadi Uskup Agung Jakarta), R. Soekarta sebagai penulis/bendahara dan P. Zoetmulder sebagai anggota. Di samping itu, Zoetmulder juga ditunjuk untuk menangani anggota redaksi Basis. Demikianlah, bertahun-tahun lamanya Basis diasuh oleh dua empu humaniora terbesar di Indonesia: Prof. Dr. N. Driyarkara dan Prof. Dr. Piet Zoetmulder. Pelaksana hariannya adalah seorang Yesuit yang tekun yakni G. Vriens. Semangat inilah yang kemudian dilanjutkan terus-menerus oleh Th. Geldorp, budayawan kita, Dick Hartoko.
Tanggal 1 Oktober 1951, Basis terbit untuk pertama kalinya. Ternyata perkembangan Basis menggembirakan. Menurut notulen tanggal 11 Januari 1955, Basis bertiras 3.280 (+3.78). Sebesar 1.755 eksemplar Basis tersebar di Pulau Jawa (+97), 1.420 eksemplar di kepulauan Indonesia lainnya (+192), 21 di luar negeri (+1), 84 langganan kolektif: 59 dari kementrian agama dan 25 dari kementrian penerangan. Jawatan Pendidikan pada tahun 1954 juga masih mempunyai langganan 201. Pada tahun 1954, Basis menerbitkan Pedoman Demokrasi untuk Rakyat, terjemahan A. Soenarjo. Persiapan Pemilu 1955 ternyata membutuhkan serial itu. Maka, serial itu kemudian diterbitkan sebagai brosur sebanyak 25.000 eksemplar. Kementrian Penerangan memesan 5.000 eksemplar. Karena banyaknya permintaan, brosur itu dicetak ulang sebanyak 5.000 eksemplar. Brosur itu dijual dengan harga amat rendah, hanya 75 sen per eksemplar. Masih lagi, diberikan potongan 20-30 persen bagi pesanan dalam jumlah besar.
Setelah dihitung-hitung, ternyata Basis menanggung rugi karena pencetakan brosur itu dan harus menutup kekurangan sebesar Rp1.500. Namun pengurus menganggap kerugian itu bisa dipertanggungjawabkan, mengingat tujuannya yang luhur, yakni memberi pedoman demokrasi bagi rakyat. Basis, majalah kecil dan miskin ini, ternyata berani berkorban demi suatu perjuangan nilai. Tapi “siapa kehilangan, dia akan memperoleh, siapa memberi, dia akan menerima”. Kendati merugi, pada tutup tahun 1954, pengurus melaporkan bahwa keuangan Basis berada dalam keadaan memuaskan. Uang masuk tahunan Rp123.907. Uang keluar: Rp125.057,20. Selisih sedikit ini bisa ditutup dari saldo tahun lalu.
Menarik untuk memperhatikan notulen 8 Januari 1957. Di sana tertulis, “Untuk pekerjaan redaksi, E. Wiyana, Pr diperbantukan menjadi “kronik”, dan pekerjaan menerjemahkan mulai bulan Agustus dilakukan oleh P. Swantoro, seorang mahasiswa ….” Sejak saat itu, P. Swantoro menjadi pembantu Basis. Sampai pertengahan tahun enam puluhan, Drs. P. Swantoro adalah anggota redaksi, seperti halnya Prof. Dr. Piet Zoetmulder. Ketika sudah di Jakarta, ia masih terdaftar sebagai koresponden Basis di Jakarta. Jadi, sebelum besar di Kompas dan menjadi Wakil Pimpinan Redaksi Kompas, P. Swantoro adalah “orang Basis”. Katanya, “Pada masa sulit dulu, honorarium yang saya terima dari Basis, bisa untuk membeli beras.”
Tahun 1996, saat berjalan memasuki usianya yang ke-45, Basis akan berwajah baru. Bersama Prof. Dr. Franz Magnis-Suseno, Raymond Toruan, Dr. I. Kuntara Widyamartana, Dr. JB Banawiratma dan Ir. Andy Siswanto, Drs. P Swantoro akan menjadi Dewan Redaksi Majalah Basis. Dari Basis kembali ke Basis. Inilah antara lain riwayat hidup P. Swantoro.
Apakah artinya kembali ke Basis? Jika orang mendengar kata Basis, secara spontan orang akan mengartikannya dengan kata dasar atau fundamen. Bagi majalah Basis, ternyata kata itu mempunyai arti lain. Dalam rapat pertama, 29 Maret 1951, para pendiri sepakat bahwa majalah mereka nanti harus mempunyai nama yang mengingatkan orang pada pengertian psyche nihae, yang berarti jiwa. Karena waktu itu di Yogyakarta sudah ada majalah bernama Djiwa Baru, mereka tidak ingin membuat nama padanan. Kendati demikian, mereka tetap ingin mempertahankan pengertian psyche nihae atau jiwa tadi. Akhirnya, sampailah mereka pada keputusan untuk memberi nama majalah itu Basis. Jadi, lebih dari sekadar fundamen atau dasar, Basis mempunyai arti kedalaman, kebatinan, prinsip kehidupan, dan ke-spiritual-an.
Jadi, Basis ingin mengajak orang membayangkan masa depan itu bukan sebagai suatu lembaran kosong, melainkan sesuatu yang terkait dengan harapan pada masa lampau. Harapan masa lalu itu membentuk identitas masa depan.
Basis ingin menghidupi, baik “roh Piet Zoetmulder” maupun “roh Driyarkara”. Zoetmulder adalah ilmuwan yang rajin berenang mengarungi relung-relung sejarah, budaya, dan religiositas warisan masa lampau. Basis ingin mewarisi roh pendirinya ini. Karena itu, Basis juga ingin mengingat dan menyelami warisan, sejarah, dan budaya masa lampau. Jadi, Basis ingin mengajak orang membayangkan masa depan itu bukan sebagai suatu lembaran kosong melainkan sesuatu yang terkait dengan harapan pada masa lampau. Harapan masa lampau itu ikut membentuk identitas masa depan. Pendeknya, dihidupi oleh “roh Zoetmulder”, penggali harta masa lampau itu, Basis ingin menghidupkan bagi pembacanya suatu kultur yang anamnetis, kultus yang pandai mengenang masa lampau.
Roh Basis bukan hanya “roh Zoetmulder”, tapi juga “roh Driyarkara”. Lain dengan Prof Dr Zoetmulder yang lebih mencintai masa lalu, Prof Dr Driyarkara adalah ilmuwan yang selalu resah dalam pencariannya, dalam pergulatannya menghadapi masa kini. Driyarkara adalah ilmuwan yang tekun menggali nilai-nilai kemanusiaan dalam zaman dan situasinya yang kontekstual. Presiden Sukarno, ketika berkunjung ke Universitas Sanata Dharma, sangat terkesan ketika Driyarkara menganalisis Pancasila dari segi kemanusiaannya, sampai-sampai ia dipanggilnya untuk mengajar di Universitas Indonesia.
Bagi Driyarkara, penyelenggara kemanusiaan atau perikemanusiaan itu bukanlah pemerintah atau negara, tapi warga negara sendiri, baik perorangan maupun bersama-sama. Peran pemerintah, terutama hanyalah menciptakan kondisi-kondisi yang diperlukan untuk hal tersebut. Kemanusiaan itu tidak mungkin terpahami dan terwujud tanpa kebebasan. Driyarkara merefleksikan habis-habisan kebebasan itu. Makin dalam, manusia harus makin bebas terhadap apa pun, juga terhadap kekuasaan negara. Karena itu, semakin spiritual suatu bidang, seharusnya makin berkurang pula peran negara. Misalnya, di bidang agama dan pendidikan, negara seharusnya tidak terlalu banyak ikut campur.
Dengan mewarisi semangat Driyarkara, Basis ingin membela nilai-nilai kemanusiaan itu dalam konteksnya yang sekarang. Dulu atau sekarang, jadi juga di tengah derap kemajuan dan globalisasi ini, masih terus terjadi pembungkaman kebebasan. Basis ingin mengajak para penulis untuk membuat suatu analisis sosial dan kontekstual, yang dapat menunjukkan, betapa sampai kini pun masih banyak “sayap-sayap yang terluka”. Dan Basis ingin bertanya secara kritis, mengapa sampai “sayap-sayap” itu jadi terluka?
Mewarisi “roh Zoetmulder” dan “roh Driyarkara” berarti mewarisi roh keintelektualan yang sejati. Dalam tradisi keilmuan, keintelektualan itu diasosiasikan, atau bahkan diidentikkan dengan Geist (roh). Karena itu, kaum intelektual, khususnya mereka yang menekuni soal-soal kemanusiaan, sering pula disebuat sebagai Geistesmenschen. Artinya, mereka bukan pertama-tama manusia spiritual dan batiniah, tapi manusia yang hidup dari prinsip dan kedalaman hidup itu sendiri. Karena itu keintelektualan sebenarnya tidak boleh “didangkalkan” apalagi “dikotori” dengan pragmatisme, entah di bidang politik praktis, sosial, atau ekonomi. Tapi sebagai “roh” yang adalah prinsip kehidupan, keintelektualan juga tak boleh menjauh dari kehidupan, dan melulu melamun dan merusak dirinya dengan utopi-utopi yang abstrak.
Sebagai majalah intelektual, Basis mencoba berani berdiri dalam dua titik ketegangan tersebut. Ia takkan jadi pragmatis, karena itu ia akan kritis terhadap keadaan. Ia takkan utopis, karena itu ia akan menggali visi-visi yang mungkin direalisasikan bagi masyarakat. Semuanya harus terjadi dalam konteks histories. Berada dalam konteks histories, mau tak mau Basis harus berpijak pada suatu pilihan nilai. Dan bagi Basis, pilihan nilai itu adalah keadilan sosial. Mengapa? Karena keadilan sosiallah satu-satunya dasar kokoh yang dapat membangun kemanusiaan. Maka jika ditanya, apakah Basis, dengan singkat kami akan menjawab: Basis adalah majalah intelektual yang ingin menjalankan refleksi yang kritis, histories dan visioner atas permasalahan-permasalahan sosial-budaya-politik, demi suatu idealisme, yakni humanitas dan solidaritas demi keadilan.
Ketika masih studi di Jerman, Dick Hartoko pernah menulis surat kepada saya. Ia menanyakan, “Kapan kamu akan kembali? Saya kira, kamulah yang harus mengambil alih tugas saya untuk menjalankan majalah Basis.” Kemudian ia masih menambahkan, “Saya katakana hal itu kepada Prof Dr Zoetmulder, dan ia menyetujuinya.” Semoga sekarang, ketika saya dan rekan-rekan harus mulai bertugas, Prof Dr Zoetmulder betul-betul menyetujui dan merestui kami.
Kami sadar, betapa tidak mudah menjalankan idealisme yang kami warisi dari para pendahulu kami Zoetmulder, Driyarkara, Vriens, dan Dick Hartoko. Namun kiranya kami tidak sendir. Kini pun kami masih mempunyai orang-orang seperti Prof Dr Franz Magnis-Suseno, Drs Swantoro, dan Raymond Toruan yang akan mendampingi kami. Kami pun yakin, banyak penulis dari kalangan cendekiawan, budayawan, sastrawan dan wartawan yang akan membantu kami. Sementara itu, dari para pendahulu kami juga belajar, betapa pun terbatas kemampuan kami, rasanya apapun boleh diraih, asal kami tekun. Qui seminant in lacrimis, in exsultatione metent, yang artinya, yang menabur dengan bercucuran air mata, dia akan menuai dengan suka cita. Itulah spiritualitas intelektual Prof Dr Zoetmulder dan para penerusnya, sampai Dick Hartoko.
Dalam batas-batas kemampuannya, Basis telah memperlihatkan kesetiaan dan ketekunan tersebut dengan bekerja bulan demi bulan. Dengan cara itu, Basis juga memungkinkan berkembangnya bakat kepengarangan secara rutin dan terus-menerus, terlepas dari angkatan-angkatan. Lewat Basis muncul nama-nama seperti Rendra, Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono, Andre Hardjana, Bakdi Soemanto, dan Linus Suryadi.
Basis tidak menyulut, menggebu-gebu atau membuka zaman baru, tetapi ada dan hadir dalam perjalanan sejarah. Di sinilah letak kekuatan, kesetiaan, dan daya hidup Basis yang luar biasa. Tanpa memedulikan gersangnya alam berpikir, rendahnya minat baca dan tertutupnya pasar ilmiah lantaran bangsa ini memang belum sepenuhnya berada dalam tatanan ilmu pengetahuan modern, Basis tetap bertahan, tumbuh dan menunggu kita di sana. Itulah oasis kecil, lambing kesegaran dan harapan, bahwa masih ada warna lain di gurun pasir pemikiran bangsa Indonesia. (Eka Budianta, dlm. Dick Hartoko: Maliho O Borok Sampai Seni Sono, Pilihan Tanda Tanda Zaman, Jakarta, 1992, hlm. Xviii-xix)
Dalam sejarahnya, Basis tidak ingin memberi petunjuk atau memimpin, Basis ingin mengajak berpikir. Bagi Basis, berpikir itu bukan musiman, tetapi kerja rutin, keuletan dan kesetiaan.
Dalam sejarahnya, Basis tidak ingin memberi petunjuk atau memimpin, Basis ingin mengajak berpikir. Bagi Basis, berpikir itu bukan musiman, tetapi kerja rutin, keuletan dan kesetiaan. Eksistensi Basis sampai kini menunjukkan bahwa berpikir itu merupakan bagian dari proses hidup, yang senantiasa berkesinambungan dari hari ke hari, dari bulan ke bulan. Tepatlah bila Dr HB Jassin menyebut Basis sebagai “Benteng Berpikir Sehat”. (Lih. Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esei, IV, 1985, hlm. 134)
Kami, para pelaksana Basis, ingin menghadirkan Basis dalam bentuk dan wajah baru. Kendati demikian, kami akan tetap meneruskan dan menghidupi spiritualitas intelektual yang telah diwariskan oleh para pendahulu kami bagi majalah Basis. Karena itu, dengan refleksi-refleksi intelektualnya, Basis ingin tetap menjadi pancaran cita humaniora di masa kini.
Sindhunata,
Redaktur Pelaksana Majalah Basis
Ket.: Termuat dalam leaflet yang diterbitkan tahun 1996.
댓글