Agama Seharusnya Tertawa
Sindhunata
Pelawak atau badut menuntun kita terbang masuk ke wilayah, tempat kita boleh menikmati rasa tak bersalah dan mengalami hal-hal yang ajaib. Di sana kita menemukan kembali semangat untuk kemudian menengok ke bawah dan kembali bermain-main di dunia, menemukan harta yang terkandung dalam sebutir pasir di pantainya.
Sepenggal makna dari puisi penyair Didier Danthois di atas rasanya pas bila dikenakan pada peringatan empat puluh hari kepergian pelawak nasional asal Yogyakarta, Gareng Rakasiwi (50 tahun). Peringatan itu diadakan tanggal 19 Maret 2018 di Padepokan Seni Bagong Kussudiardja, Tirtomartani, Bantul, Yogyakarta dan dihadiri oleh banyak tamu undangan serta seniman. Gareng, pelawak sangat berbakat dan serba bisa itu, meninggal mendadak pada tanggal 9 Februari 2018.
Walau memperingati seorang pelawak, peringatan malam itu ternyata tidak hanya ditandai dengan canda dan tawa. Butet Kartaredjasa memberikan sambutan. Tak seperti biasanya, kali ini Butet bicara dengan sangat serius, nyaris tiada canda di dalamnya. Ia tiba-tiba berkata-kata tentang kematian. Katanya, kepergian Gareng mengingatkan, betapa kehidupan itu sedemikian dekat dengan kematian. Tak mungkin lagi rasanya, bahwa dalam hidup ini kita tidak berpikir tentang kematian, dan berani menghadapinya.
Mengapa kepergian seorang pelawak bisa menggugah orang untuk tiba-tiba berpikir tentang kematian? Mungkin karena komedi itu pada dasarnya adalah tragedi, atau tak bisa dipisahkan dari tragedi. Dan tragedi akhir hidup manusia adalah kematian. Kematian inilah sering kali tanpa sadar dibawa dalam komedi atau pelawakan. Di panggung, hal itu diperankan dalam diri seorang badut yang selalu jatuh, dan bangun lagi, gagal dan bangkit lagi. Gareng juga memperlihatkan perjuangan itu, ia melawakkan sesuatu yang mustahil, dan dengan demikian ia menghibur penontonnya. Ibaratnya, dengan jatuh bangun, ia mengajak penontonnya untuk tidak berpikir bahwa sebutir pasir tidak mengandung apa-apa. Galilah itu dengan apa saja, juga dengan lawakan, dan kamu akan menemukan harta kekayaan yang tak terduga. Gareng menggali, jatuh dan bangun, gagal dan bangkit, sampai akhirnya ia sendiri harus menghadapi kenyataan, bahwa ia tidak bisa bangun dan bangkit lagi, ketika kematian adalah kepastian yang tidak dapat dimustahilkannya lagi.
Mungkin justru sebagai pelawak yang jatuh bangun, gagal dan bangkit itu, Gareng seakan bisa dengan mudah membaca datangnya kematian itu. Dalam sambutannya, Wisben, pelawak teman Gareng, yang bersama Joned tergabung dalam grup lawakan ala Mataraman, Trio Gam, bercerita. Pada hari-hari
akhirnya, Gareng kelihatan tidak terlalu antusias untuk tampil melawak. Ia diajak membuat peringatan ulang tahun Trio Gam. Reaksinya, baik, tapi Trio Gam sebaiknya nanggap ludruk saja, dan ia hanya ingin menjadi penonton. Waktu pentas terakhir di Jakarta, ia tiba-tiba menghilang, justru pada saat ia harus segera tampil. Ternyata ia kedapatan sedang berada di antara penonton. Akhirnya, ia tampil, dan bermain gitar. Kata Wisben, ia bermain dengan sangat bagus dan menjiwai. Tapi ketika ditanya, ia menjawab, “Tanganku dingin, sungguh dingin.” Jawaban yang sama sekali lain dengan kesan penampilannya yang penuh canda. Dari cara Wisben bercerita, orang seakan diajak merasakan, bagaimana dinginnya kematian itu pelan-pelan sudah mulai merambati diri Gareng.
Pulang pentas, ia hanya memakai kaos oblong dan celana kolor. “Ia selalu pakai celana kolor kalau naik pesawat. Soalnya, ia paling tidak suka kalau harus mencopot sabuk, ketika pemeriksaan di airport,” kata Wisben. Ia ditawari makan, tapi menolak. Celakanya, pesawatnya delayed. Untung ia sempat nyangking sekotak jajanan manis. Ia terpaksa memakannya, padahal ia selalu hati-hati dengan makanan manis. ***
Sumber: Majalah BASIS 03-04, 2018
Artikel lengkap dapat dibaca dalam edisi tersebut.
Berlangganan: 0812225225423
Comments