Taman Keramaian
Tenger, 29 April-5 Mei 2019
TAMAN-TAMAN diturunkan dari epos. Pembaca epos Mahabharata dan Ramayana mungkin menganggap imajinasi taman memberi rangsang pada orang-orang di Jawa memiliki tempat berisi tanaman, binatang, kolam, patung, dan bangunan. Tempat itu dinamai taman. Mereka mungkin juga melakukan salinan taman melalui hamparan babad dan kakawin, terwariskan dari para leluhur, sejak ratusan tahun lalu. Di taman, asmara dan kekuasaan bersua. Taman pun lambang kegandrungan pada alam dan metafora. Di Jawa, taman tak selesai diartikan tempat. Metafora-metafora diadakan untuk membuat taman rimbun makna, dari masa ke masa.
Imajinasi bertaman mengisahkan kerajaan-kerajaan dan tokoh-tokoh di adab keagungan. Sebutan taman kadang sinonim dengan kebun tapi sering berbeda pengertian. Pembeda mungkin pengukuhan indah atau molek. Taman terasa ada penataan dan pemenuhan ingin-ingin. Kebun cenderung dimengerti indah setelah mengalami “pembenahan”, setelah ada duluan dalam situasi belum di tatanan rapi. Di Jawa, dua sebutan itu kadang membedakan kelas keningratan dan kejelataan.
Taman-taman dari masa lalu teringat selalu tak utuh. Kita belum memiliki gambar atau foto lengkap. Kamera terlambat datang di Jawa. Kita tak memiliki cerita-cerita berlimpahan secara tertulis. Tuturan demi tuturan ada, memihak ke dugaan dan “perubahan” dari keadaan semula. Lacak ingatan itu diusahakan Dennys Lombard dalam buku berjudul Taman-Taman di Jawa (2019). Tulisan pernah dipublikasikan pada 1969, hadir di tatapan mata pembaca berbahasa Indonesia berbarengan kebijakan birokrasi di pelbagai kota mengadakan taman-taman. Pengertian taman dari masa lalu agak sulit diterapkan di taman-taman diresmikan di kota-kota dengan menghabiskan dana ratusan juta atau miliaran rupiah.
Taman di Jawa tak sendirian di tilikan sejarah atau pengaruh-pengaruh dari pelbagai bangsa asing. Lombard menulis: “Taman Persia dan taman India di satu sisi, taman Tiongkok dan taman Jepang di sisi lain, telah lama menarik perhatian orang Eropa, dan beberapa kajian penting telah disusun mengenai topik tersebut. Para penulis menguraikan situasi dan tata taman untuk menunjukkan nilai estetikanya (taman, tempat sebagai tempat hiburan) atau menekankan makna filosofisnya (taman sebagai mikrokosmos, tempat bertapa).” Lombard mengajak pembaca menuju ke penasaran: taman-taman itu berada di Asia Tenggara, teristimewa berada di Jawa.
Para penulis menguraikan situasi dan tata taman untuk menunjukkan nilai estetikanya (taman, tempat sebagai tempat hiburan) atau menekankan makna filosofisnya (taman sebagai mikrokosmos, tempat bertapa).” Lombard mengajak pembaca menuju ke penasaran: taman-taman itu berada di Asia Tenggara, teristimewa berada di Jawa.
Di Jawa, taman berkaitan lakon kekuasaan. Di penelusuran tulisan-tulisan, Lombard mengabarkan: sejak awal abad XVII terkandung di babad-babad keberadaan taman-taman. Para raja mengadakan taman-taman. Konon, kebijakan itu mengartikan ada kehendak estetika tapi di naungan politik. Taman-taman diadakan dan dinamai dengan pamrih-pamrih kehormatan, keindahan, dan kemegahan. Taman jadi ejawantah kuasa dan “penghadiran” alam di detik-detik politik. Kondisi taman dan nama menentukan derajat para penguasa atau tokoh-tokoh menggerakkan laju sejarah di Jawa.
Sebutan taman dan kebun dipilih Hartojo Andangdjaja dalam menerjemahkan teks sastra gubahan pujangga India bernama Rabindranath Tagore. Ia menjuduli Tukang Kebun (1976). Alkisah, ada orang menginginkan menjadi tukang kebun, menolak jadi prajurit di perang dan membunuh dengan senjata-senjata. Ia ingin merawat kebun bagi raja dan keluarga. Pemberian keterangan tugas-tugas dilaksanakan tukang kebun milik kerajaan: “Hamba akan menjaga agar tetap sejuk jalanan berumput itu, di mana tuan berjalan-jalan di pagi hari, di mana kakimu disambut dengan puji di setiap langkah oleh bunga-bunga yang rindu akan ajalnya. Hamba akan mengayun-ayunkan tuan dalam buaian di antara cecabangan saptaparna, di mana bulan petang hari berebutan menciumi gaunmu dari celah dedaunan.” Tagore berlebihan mengisahkan taman terlalu molek di imajinasi pembaca. Taman itu mungkin ada. Tagore menggoda kita mengunjungi taman-taman: berperan sebagai raja, ratu, putri, pangeran, atau ksatria.
“Hamba akan menjaga agar tetap sejuk jalanan berumput itu, di mana tuan berjalan-jalan di pagi hari, di mana kakimu disambut dengan puji di setiap langkah oleh bunga-bunga yang rindu akan ajalnya. Hamba akan mengayun-ayunkan tuan dalam buaian di antara cecabangan saptaparna, di mana bulan petang hari berebutan menciumi gaunmu dari celah dedaunan.”
Taman itu bacaan puitis, bukan berita dimuat di Suara Merdeka, 28 April 2019. Taman di zaman mata berkamera, bukan mata mengalami-mengingat. Awalan di berita: “Pemerintah Kabupaten Sragen memberikan kado kepada masyarakat Sragen, sebagai salah satu rangkaian Hari Jadi Kabupaten Sragen ke-273 pada 27 Mei 2019. Yakni diresmikannya Taman Sukowati Sragen (S2) oleh Bupati Kusdinar Untung Yuni Sukowati pada Minggu (28/4). Taman S2 ini adalah gabungan dari dua taman hutan kota yang sudah ada sebelumnya. Yakni Taman Tirta Sari dan Taman Mandala Bhakti. Taman yang terletak di Kecamatan Sragen ini memiliki luas lahan 6,1 hektare, serta memiliki ikon perahu peninggalan VOC Belanda di abad ke-17.” Taman sebagai kado. Taman itu “diberikan” oleh pemerintah. Taman berubah nama. Taman dikesankan bersejarah dengan perahu dari ratusan tahun lalu. Kita seperti menjauh dari referensi epos, babad, dan kakawin. Taman itu bermisi wisata. Taman tak seperti di ulasan apik Lombard, ulasan mengusung sejarah.
Kita seperti menjauh dari referensi epos, babad, dan kakawin. Taman itu bermisi wisata. Taman tak seperti di ulasan apik Lombard, ulasan mengusung sejarah.
Taman bakal ramai. Di situ, mata tak terlalu mengingat. Taman memang untuk kamera di ponsel ribuan orang bergantian memotret. Pemerintah sengaja mengadakan tempat swafoto. Taman-taman di masa lalu pasti cemburu belum dijepret kamera-kamera untuk pameran di media sosial. Taman ada di media sosial. Keramaian dan pengertian ada di situ. Taman terdigital di mata-mata manja menginginkan pengeditan teknologis. Taman di Sragen itu belum perlu diawetkan dalam penulisan sastra. Kamera sudah memadai untuk menjadikan taman moncer dan mengundang orang-orang dari pelbagai kota pelesiran. Sragen pun terpuji.
Taman-taman di masa lalu pasti cemburu belum dijepret kamera-kamera untuk pameran di media sosial.
Taman diinginkan selalu ramai dengan pelbagai acara. Taman itu keramaian. Di teks sastra klasik atau buku Tagore, taman dengan keheningan dan keanggunan agak sulit dicipta di Sragen. Taman itu wisata. Taman itu ramai. Taman itu pendapatan. Taman memenuhi hasrat birokrasi di kerja “menguntungkan”, bukan pemenuhan kaidah-kaidah bertaman seperti ribuan tahun lalu. Taman di reruntuhan imajinasi estetika dan pikat sejarah. Begitu.
Bandung Mawardi, Kuncen Bilik Literasi Solo
Kommentare