Suluh: Kemajuan dan Nasionalisme
top of page
Cari

Suluh: Kemajuan dan Nasionalisme

Bandung Mawardi


DOKTER, profesi terpandang di Padang. Marah Rusli dalam novel berjudul Anak dan Kemenakan (1956) memunculkan tokoh berprofesi dokter bernama Aziz. “Dialah pemuda terutama di Padang,” tulis Marah Rusli. Kita diingatkan dengan profesi-profesi baru akibat pendirian sekolah-sekolah modern dan alur zaman kemajuan. Di Padang, dokter itu cuma “terkalahkan” oleh pengacara, lulusan universitas di Belanda. Profesi baru tampak dari cara berbusana, tata krama, pilihan hiburan, dan kepatutan berbahasa. Aziz memenuhi pengharapan kaum muda di Padang. Pendidikan dan profesi baru “membawa bangsanja ke padang kemadjuan di dalam segala lapangan.”


Pada masa lalu, novel-novel berselera modern diterbitkan Balai Poestaka sering memunculkan tokoh-tokoh berprofesi dokter. Mereka di kebimbangan identitas dan penentuan haluan politik. Adinegoro menulis novel berjudul Darah Moeda (1927), mengisahkan Nurdin belajar di STOVIA dan berhasil menjadi dokter. Ia bekerja di rumah sakit di Batavia. Kehormatan diperoleh tapi dibimbangkan masalah perjodohan di kampung halaman. Di novel Salah Asoehan (1928) gubahan Abdul Muis ada pula cerita mengenai dokter menangani kasus Hanafi digigit anjing. Sutan Takdir Alisjahbana turut menceritakan pendidikan kedokteran di Batavia dan tokoh berprofesi dokter dalam novel berjudul Lajar Terkembang (1937). Novel terpenting bertokoh dokter tentu Belenggu (1940) gubahan Armijn Pane. Pembaca novel-novel lama pasti ingat tokoh dokter bernama Sukartono.


Sekian novel kita ingat untuk memberi pemaknaan sekolah kedokteran dan peran dokter pada awal abad XX. Mereka merintis dan mengobarkan politik nasionalisme melalui Boedi Oetomo, berlanjut dengan pendirian sekian organisasi: Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Batak, Jong Ambon, dan Minahassa Studeerenden. Kaum muda sejak menjadi pelajar di sekolah kedokteran sampai menjadi dokter memiliki pengaruh besar dalam arus pergerakan politik kebangsaan. Mereka memang menekuni ilmu kedokteran tapi melek masalah-masalah politik, pendidikan, pers, seni, dan lain-lain. Mereka mengalihkan ide dan kebahasaan dalam ilmu kedokteran untuk mengubah nasib kaum terjajah, memberi suluh kemajuan di Hindia Belanda.


Kaum muda sejak menjadi pelajar di sekolah kedokteran sampai menjadi dokter memiliki pengaruh besar dalam arus pergerakan politik kebangsaan. Mereka memang menekuni ilmu kedokteran tapi melek masalah-masalah politik, pendidikan, pers, seni, dan lain-lain.

Semua bermula dari gagasan mengadakan sekolah kedokteran dengan menerima murid-murid dari kalangan pribumi. Gagasan dibuktikan pada abad XIX. Dalih paling terkuat adalah wabah. Hans Pols (2019) mengacu ke sekian sumber sejarah memberi keterangan: “Pendidikan kedokteran di Hindia Belanda lahir dari keadaan yang buruk. Setelah meneliti dampak dahsyat dari wabah tifus di Jawa pada tahun 1847, Willem Bosch, yang kemudian menjadi Direktur Dinas Kesehatan Kolonial, merekomendasikan agar para pemuda Jawa yang memiliki karakter yang baik bisa menerima pelajaran kedokteran.” Di lembaran sejarah, Sekolah Dokter Jawa resmi diadakan pada 1851. Pada 1902, institusi itu berubah menjadi STOVIA (School tot Opleiding van Indische Artsen) di Batavia.


Hindia Belanda masa lalu sering dilanda wabah mematikan. Para dokter Eropa kesulitan menanggulangi dengan pelbagai kebijakan pemerintah atau usaha bersama dengan pelbagai kalangan bumiputra. Masalah besar sebelum berdiri STOVIA adalah cacar. Di buku berjudul Sejarah Kedokteran di Bumi Indonesia (2005) susunan AA Loedin tercatat kisruh tanggapan atas cacar di kalangan modern dan kolot. Kita mengutip dua pandangan merepotkan dalam program vaksinasi di Jawa. Pada 1831, para orangtua di Madiun menolak membawa anak-anak divaksinasi beralasan ada kabar “pengumpulan anak-anak untuk vaksinasi sebenarnya dijadikan makanan seekor buaya raksasa yan dipelihara oleh residen dalam menekan pemberontakan.” Kita diingatkan “kabar bohong” justru menambahi berantakan dalam urusan kesehatan di tanah jajahan. Pejabat lokal dan ulama pun menentang vaksinasi cacar berdalih itu “penolakan takdir”.

Gagasan dan cara hidup baru di pertengahan abad XIX ingin mencipta Hindia Belanda itu sehat. Dulu, alasan wabah dan sekian penyakit mematikan memungkinkan pendirian sekolah kedokteran dengan mendidik kaum muda pribumi. Mereka mula-mula mendapat gelar “Dokter Jawa”, sebelum menjadi “Dokter Hindia Belanda” pada awal abad XX. Jenis pendidikan dan gelar itu membukakan mata kemodernan. Pemikiran rasional dan tindakan-tindakan dalam merawat orang sakit mulai dimengerti oleh publik meski curiga-curiga masih ada.


Pembawa suluh kemajuan memang terbukti dari kalangan pelajar di sekolah kedokteran dan para dokter. Kita mengingat Abdoel Rivai, Wahidin Soedirohoesodo, Soetomo, Tjipto Mangoenkoesoemo, Radjiman Wediodiningrat, dan lain-lain. Mereka tak cuma berurusan kedokteran. Gerak luwes dan berdampak dilakoni dalam pers, pergerakan politik, dan pendidikan modern. Mereka terbiasa membaca surat kabar, menulis untuk surat kabar, dan mendirikan penerbitan pers. Sekian dokter juga menggubah sastra. Sekian jalan ditempuhi demi perubahan, kemajuan, dan martabat bagi kaum bumiputra.


Mereka tak cuma berurusan kedokteran. Gerak luwes dan berdampak dilakoni dalam pers, pergerakan politik, dan pendidikan modern. Mereka terbiasa membaca surat kabar, menulis untuk surat kabar, dan mendirikan penerbitan pers.

Pada saat menempuh studi lanjutan kedokteran di Belanda, Abdoel Rivai menerbitkan Pewarta Wolanda (1900). Abdoel Rivai bersama Clockener Borusson mendirikan Bintang Hindia (1902). Terbitan itu mendapat sokongan dana dari pemerintah kolonial. Pemerintah berlangganan untuk disebarkan ke sekolah guru, sekolah anak dari pejabat pribumi, rumah sakit militer, dan ruang rawat pasien. Pers menjali corong untuk mengabarkan kebijakan-kebijakan pemerintah dan mengedarkan gagasan-gagasan kebaruan di Hindia Belanda (Ahmat Adam, Sejarah Awal Pers dan Kebangkitan Kesadaran Keindonesiaan, 2003). Pada masa berbeda kita mengingat peran Soetomo di penerbitan Soeara Oemoem dan Panjebar Semangat. Sejak awal abad XX, para dokter memang membawa suluh untuk pelbagai perubahan.


Mereka membawa suluh dan merawat semangat perubahan. Hans Pols dalam buku berjudul Merawat Bangsa: Sejarah Pergerakan Para Dokter Indonesia (2019) memuat penjelasan-penjelasan keterhubungan pelajar STOVIA dengan pergerakan politik kebangsaan dan pers. Goenawan Mangoenkoesoemo mengingat peristiwa berpengaruh selama di STOVIA: “Soetomo dan teman sekelas lainnya membawa artikel-artikel koran yang menyenangkan dan kurang menyenangkan dari meja surat kabar yang kami diskusikan setelah jam studi malam.” Mereka peka ide-ide perubahan dan “rakus” mengikuti berita-berita terbaru atau “memamah” artikel-artikel secara kritis-argumentatif. Episode itu mengawali pendirian Boedi Oetomo, 20 Mei 1908.


Sekian penggalan ingatan kita buka lagi untuk memberi penghormatan bagi para dokter sedang bekerja di penanggulangan wabah. Mereka menunaikan tugas besar, bertaruh hidup-mati. Wahyu Susilo di Media Indonesia (22 Mei 2020) menjelaskan bahwa pengabdian para dokter dalam menangani wabah awal abad XX berlanjut pada masa sekarang “membenarkan” sejarah. Mereka “pemrakarsa” kebangkitan dan kemauan mengabdi demi Indonesia. Kita memang tak mutlak membuat peringatan kebangkitan nasional atau kebangunan nasional bertokoh dokter. Pada saat wabah masih susah diramalkan bakal berakhir, ingatan ke masa lalu agak memberi “terang” pemahaman dari rutinitas peringatan hari besar nasional. Begitu.



_________


Bandung Mawardi,

pemenang 3 Sayembara Kritik Sastra DKJ 2019,

Kuncen Bilik Literasi, Penulis Buku

Pengisah dan Pengasih (2019)

FB: Kabut


277 tampilan
bottom of page