top of page
Cari

Semar dan "Mbah Sangar"

“Saya tidak ingat buku pertama yang saya baca,” pengakuan Franz Magnis-Suseno dalam esai berjudul Bukuku, Surgaku (2004). Ia pasti mengingat buku berjudul Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme (1999) gara-gara sering dimusuhi orang-orang mengaku pembenci komunisme. Buku terbit setelah keruntuhan rezim Orde Baru. Buku penting dan laris, cetak ulang sampai masa sekarang. Para pembaca memang ingin mengerti pemikiran Karl Marx, bukan bermaksud membangkitkan kembali komunisme atau memuja “mbah brewokan” mengubah dunia abad XX.


Selama rezim Orde Baru, buku atau obrolan mengandung Karl Marx dan komunisme harus berhadapan dengan pemerintah melalui polisi, militer, dan kejaksaan. Franz Magnis-Suseno menulis buku bermisi akademik: “Keterbukaan baru di masa pasca-Orde Baru memungkinkan saya melaksanakan sesuatu yang sudah lama saya harapkan: menerbitkan sebuah pengantar ringkas ke pemikiran Karl Marx.” Buku memang diterbitkan di waktu tanpa kemarahan dan larangan sering diberikan oleh rezim Orde Baru.


Penjelasan itu tak terbaca oleh orang-orang melakukan aksi sembarangan di Makassar sekian hari lalu. Orang-orang itu mendatangi toko buku dan merazia buku garapan Franz Magnis-Suseno dengan tuduhan buku berbau komunis. Tuduhan bersumber dari sinopsis di sampul belakang (Solopos, 5 Agustus 2019). Mereka datang bukan sebagai pembeli buku sudah membawa duit di kantong. Mereka pun ogah berpredikat menjadi pembaca buku. Sinopsis dianggap memadai untuk melakukan aksi berpaham “ngawurisme”. Ingatan wajah atau foto Karl Marx semakin membuat mereka membesarkan benci ingin ditularkan ke orang-orang di seantero Indonesia.


Mereka datang bukan sebagai pembeli buku sudah membawa duit di kantong. Mereka pun ogah berpredikat menjadi pembaca buku. Sinopsis dianggap memadai untuk melakukan aksi berpaham “ngawurisme”.

Kita ingin memikirkan Franz Magnis-Suseno (Romo Magnis), bukan Karl Marx atau aksi orang-orang berlagak sangar. Ia datang dari Jerman, mengabdi dan berdakwah di Indonesia berbekal pengalaman hidup di keluarga keranjingan buku. Romo Magnis mengenang: “…. di rumah kami sesudah makan malam, ibu selalu membacakan buku bagi kami, anak-anaknya. Setiap malam. Selama setengah atau satu jam. Kehebatan ibu membacakan buku kami tiada tandingnya.” Pada usia 10 tahun, ia sudah menjadi pembaca rakus. Di rumah, ada ribuan buku. Di setiap ruangan dan lorong kamar, buku-buku ditata rapi jadi penggoda bagi pembaca. Ia pembaca buku, bukan cuma pembaca sinopsis buku.


Pada usia 10 tahun, ia sudah menjadi pembaca rakus. Di rumah, ada ribuan buku. Di setiap ruangan dan lorong kamar, buku-buku ditata rapi jadi penggoda bagi pembaca. Ia pembaca buku, bukan cuma pembaca sinopsis buku.

Hari demi hari, ia terlena di buku. Pada usia 17 tahun, ia sudah mendapat pendidikan dari romo-romo di kolese Jesuit. Gairah membaca sampai ke sastra Rusia. Ia mengandrungi novel-novel dari pengarang-pengarang Rusia. Ia membaca novel-novel gubahan Fyodor Dostoyevski, Leo Tolstoy, Nikolai Gogol, dan lain-lain. Novel-novel itu referensi mengerti kejahatan, kekuasaan, iman, kemanusiaan, dan penderitaan. Bacaan sastra semakin bertambah dengan khatam buku-buku gubahan Hemingway, Thomas Mann, Goethe, dan lain-lain. Ia rakus membaca novel tapi tak berniat jadi novelis. Ia memilih memenuhi panggilan Tuhan dengan menjadi rohaniwan dalam tarekat Jesuit.


Membaca buku diartikan mencipta dan merasakan surga! Pada masa berbeda, ia menekuni filsafat dan teologi. Ia pun sampai ke Indonesia. Pada 1964-1968, ia menempuh studi di Jogjakarta: membaca buku-buku dan melihat Indonesia dalam situasi membara gara-gara politik. Jalan filsafat mengantar ke perjumpaan dengan pemikiran-pemikiran Karl Marx. Romo Magnis kagum pada pemikiran filosof besar brewokan: “Manusia menciptakan diri melalui pekerjaan.” Kita bisa turut merasakan kagum dengan membaca buku berjudul Filsafat untuk Para Profesional (2019) dengan editor F Budi Hardiman. Karl Marx mengingatkan arti manusia dan pekerjaan, bukan melulu paham dimusuhi orang-orang sangar tak membaca buku atau mau berpikir kritis.


Selama hidup dan studi di Indonesia, ia bukan menjadi penganut Marxisme tapi kebabalasan menjadi Jawa. Selama puluhan tahun, ia rajin menulis buku-buku bertema etika. Jawa pun jadi tema besar. Filosof bertema etika kelahiran Eckersdorf (Jerman), 26 Mei 1936, perlahan menjadi Jawa setelah menekuni bahasa dan kebudayaan Jawa. Ia memilih belajar bahasa Jawa dulu, sebelum bahasa Indonesia. Pengakuan saat tiba di Indonesia (1961) selaku pastor Jesuit: “Ternyata, sesudah lancar dalam bahasa Jawa, meskipun tidak sempurna, saya hanya membutuhkan 3,5 bulan untuk bahasa Indonesia ... Saya tidak tergoda memakai bahasa Indonesia dalam kerangka Jerman tetapi dalam kerangka Jawa” (Jakarta-Jakarta, 26 Maret 1989). Ia lekas tergoda menulis Jawa bertema etika dan wayang.


Kita mulai mengingat studi serius itu menghasilkan buku berjudul Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa (1984). Buku penting bagi penekun studi Jawa, terbaca dari masa ke masa. Buku ditulis seorang intelektual asal Jerman memilih menjadi warga negara Indonesia (1977). Ia pun menjadi Jawa. Di universitas-universitas, buku itu sering dianjurkan menjadi bacaan bagi para mahasiswa sedang belajar sastra Jawa. Romo Magnis bukan membuat ulasan sastra Jawa tapi memberi pijakan-pijakan bagi orang-orang mau menekuni Jawa berkaitan etika, sosiologi, keluarga, politik, seni, dan lain-lain.


Romo Magnis bukan membuat ulasan sastra Jawa tapi memberi pijakan-pijakan bagi orang-orang mau menekuni Jawa berkaitan etika, sosiologi, keluarga, politik, seni, dan lain-lain.

Buku itu mengandung ucapan terima kasih Romo Magnis kepada JWM Bakker telah berperan “mengantar lebih dari 20 tahun lalu ke dalam bahasa dan kebudayaan Jawa.” Buku itu mengawali penghormatan kita ke Romo Magnis sebagai penulis buku-buku mengenai etika. Buku-buku penting dan berfaedah, sebelum ada orang-orang sembrono menuduh ada buku garapan Romo Magnis berbau komunis.


Buku penting persembahan Romo Magnis berjudul Etika Politik: Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern (1987). Buku itu mengulas pemikiran Karl Marx bersama para pemikir kondang di dunia: Platon, Aristoteles, John Locke, JJ Rousseau, Hegel, Augustinus, Hobbes, dan lain-lain. Romo Magnis sengaja menulis buku-buku mengenai etika saat Indonesia memang memerlukan pijakan reflektif mengenai etika. Peran literasi etika itu semakin memberikan bacaan bermutu. Romo Magnis dan K Bertens pantas diberi pujian dengan penerbitan buku-buku bertema etika. Kita semakin mengenali Romo Magnis adalah pastor dan pemikir menghasilkan buku-buku bertema etika. Pengenalan tentu penting, sebelum orang-orang membuat tuduhan ke tokoh dan buku.


Pada saat Indonesia memiliki sejarah “baru” ditandai keruntuhan rezim Orde Baru (1998), Romo Magnis terus rajin memberi renungan dan peringatan melalui esai-esai di halaman opini pelbagai koran. Tulisan-tulisan mengartikan ia berpikir serius Indonesia, bukan cuma sebagai penonton atau pencatat. Ia tak gentar jika tulisan mendapat bantahan dan menjadi polemik. Pada abad XXI, peran dan segala persembahan buku membuat ia berhak menjadi “guru bangsa”. Pujian dan cacian terus mengarah ke Romo Magnis di beragam tema berkaitan etika dan demokrasi.


Pada abad XXI, peran dan segala persembahan buku membuat ia berhak menjadi “guru bangsa”. Pujian dan cacian terus mengarah ke Romo Magnis di beragam tema berkaitan etika dan demokrasi.

Kita simak ulang pendapat Romo Magnis (2000) atas polemik usulan pencabutan Tap No. XXV/MPRS/1966. Pencabutan itu dianggap “langkah kunci ke arah penyembuhan kembali luka-luka jiwa masyarakat.” Buku berjudul Berebut Jiwa Bangsa (2006) memuat pelbagai pemikiran dan pendapat Romo Magnis untuk kemajuan dan kebahagiaan Indonesia. Kita mengutip dukungan Romo Magnis kepada Gus Dur melalui kebijakan pencabutan Tap No. XXV/MPRS/1966. Kalimat-kalimat Romo Magnis: “Beliau tidak sekadar mau meramaikan suasana nasional. Beliau justru tidak naif. Beliau yakin bahwa tugas paling besar yang menunggu kita adalah pemulihan persatuan hati bangsa dan bahwa tujuan ini hanya dapat tercapai, apabila kita mengakhiri stigmatisasi sebagian bangsa kita.”


Esai itu pasti belum terbaca oleh orang-orang selalu memusuhi dan membenci komunis dengan aksi-aksi sembarangan malah melanggar undang-undang. Kita menghormati tokoh dan buku: Romo Magnis dan puluhan buku sudah ditulis. Kita beradab dengan mengenali tokoh dan membaca buku-buku tanpa tergesa membuat tuduhan sembrono. Begitu.


Bandung Mawardi,

Kuncen Bilik Literasi Solo

FB: Kabut

326 tampilan
bottom of page