Pembaca Sayuran
top of page
Cari

Pembaca Sayuran

Bandung Mawardi

ALKISAH, Zannuba Arifah Chafsoh dolan ke Jogjakarta. Dolan bercerita sayuran. Kita simak di Kompas, 1 September 2020: “… di sekeliling tempat kami ada petani yang ketika pandemi ini hasil panennya tidak terserap oleh pasar. Permintaan menurun karena banyak restoran masih tutup. Konsumsi orang-orang juga lebih sedikit. Kami ini senang makan sayur. Jadi, kami beli produk mereka. Ada satu truk.” Siplah!


Ia membeli sayuran satu truk. Pembelian dengan harga pantas demi para petani menikmati hasil kerja dan terus menunaikan misi bertani. Sayuran itu lekas dibersihkan untuk ditaruh dalam 100 kardus. Ia membagi sayuran kepada teman-teman dan kolega. Sayuran menjadi cerita bersama, bukan petaka bertokoh petani. Cerita patut dicatat mumpung wabah mulai menghasilkan berita-berita keparat.


Alkisah, Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo memiliki diksi-diksi manis dan optimis berurusan sayuran. Menteri mahir memberi omong di hadapan wartawan, berlanjut terbaca oleh publik. Beliau berkata dengan bergairah: “Inilah yang kita sebut sebagai akselerasi pertanian. Di mana konsumsi nasional kita mampu meningkatkan ketahanan pangan sekaligus punya nilai ekspor dan diminati oleh masyarakat di seluruh dunia.” Betapa….


Omongan disampaikan saat pelepasan ekspor 25 ton kubis diekspor ke Taiwan. Acara dilaksanakan di Poncokusumo, Malang, Jawa Timur, 3 September 2020. Omongan beliau ditulis di Kompas, 4 September 2020. Manis! Omongan demi omongan tak pernah basi atau pesimis. Wartawan pun mencatat: “Dengan kondisi itu, ekonomi dunia melemah, mungkin satu-dua bulan ke depan, satu tahun ke depan. Tapi, yang tidak pernah lemah adalah pertanian. Kalau pakai baju (beli) bisa ditunda tahun depan. Kalau ada orang membeli mobil, motor (bisa ditunda). Yang tidak bisa ditunda adalah lapar. Bisnis pertanian tetap terbuka.” Betapa…


Sang menteri mengajak bersukacita. Pertanian menjamin Indonesia makmur. Pertanian sayuran Indonesia ingin memikat dunia. Manis! Kita membaca berita di Kompas ingin bungah dalam memajukan pertanian sayuran. Pada masa wabah, sayuran itu tema besar. Keselamatan dan kemakmuran bereferensi sayuran. Hari demi hari berlalu, berita dan cerita di pelbagai tempat berbeda dari peristiwa dan omongan sang menteri. Pada hari tak pernah dijanjikan, kita disuguhi berita di Jawa Pos, 5 September 2020. Judul mendebarkan: “Harga Sayur Anjlok, Gubernur Perintah ASN Borong Hasil Petani.” Betapa…


Para petani di sekian kabupaten mengeluh gara-gara harga sayuran anjlok. Mereka di ambang kerugian besar. Para petani malah memilih berbagi sayur kepada warga ketimbang dijual dengan harga murah. Nasib petani ditanggapi Ganjar Pranowo. Gubernur semakin kondang itu cak-cek membuat kebijakan. Kita membaca: “Dia memerintah seluruh aparatur sipil negara memborong hasil sayur petani dengan harga pantas. Imbauan itu langsung ditindaklanjuti Korpri, organisasi ASN di lingkungan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah dengan menggelar Gerakan Korpri Peduli Petani. Mereka menghimpun para ASN untuk membeli sayuran petani dengan harga pantas.” Perintah dan nama gerakan itu baik. Betapa…


Kita tinggalkan berita-berita bisa membikin mangkel. Berdoalah berita-berita baik bakal berdatangan saat kita dipaksa ngambek mengalami situasi amburadul. Waraslah dengan tetap makan tiga kali sehari! Kita mendingan makan sayuran. Jangan lupa berdoa sebelum makan! Berita-berita itu mengejek kita telat atau tak pernah belajar sayuran dari dongeng, tembang, bacaan, relief, atau ritual.


Kita mulai belajar saja dari buku untuk bocah-bocah SD. Buku berjudul Pekarangan yang Produktif (1983) susunan John S. Duh, kita jangan malu membaca buku dengan bahasa sederhana dan gambar-gambar tak molek. Camkan saja: “Pekarangan, misalnya, bisa menjadi sumber tanaman sayuran…” Dua hal terpenting dipelajari bocah: pekarangan dan sayuran. Di pekarangan, bocah diajak menanam terung: “Hampir semua orang mengenal tanaman terung. Sayur lodeh yaitu masakan khas Jawa Timur tidak bisa dipisahkan dari terung. Terung termasuk tanaman perdu. Bentuk buahnya bermacam-macam, bulat kecil sampai bulat panjang. Tanaman terung dikenal pula sebagai salah satu tanaman khas pekarangan di samping kacang panjang, tomat, dan lain-lain.” Di pekarangan, bocah menanam terung dan berimajinasi lekas makan lodeh. Hore!

Orang-orang sudah sepuh mungkin memilih membaca buku lawas dalam belajar sayuran. Keinginan belajar menguat ketimbang meratap dan marah gara-gara berita bertema sayuran jarang menggirangkan. Wabah membuat sayuran seperti terkena kutukan. Para petani terpuruk. Pada masa lalu, orang-orang di tanah jajahan diminta belajar sayuran melalui buku. Kita menduga ada pengertian dan pengisahan ilmiah dalam buku berjudul Sajoer-Sajoeran Negeri Kita terbitan Balai Poestaka masa 1940-an. Buku berasal dari negeri sana disalin dalam bahasa Indonesia oleh Nur Sutan Iskandar. Kita mengenali ia rajin menulis novel tapi buku bertema sayuran itu babarblas tak memiliki bobot cerita memikat.


Keinginan belajar menguat ketimbang meratap dan marah gara-gara berita bertema sayuran jarang menggirangkan. Wabah membuat sayuran seperti terkena kutukan. Para petani terpuruk.

Penjelasan: “Hampir dimana-mana ada sajoer dan dapat ditanam dengan setjoekoepnja. Tambahan poela di Indonesia terlaloe amat banjak matjam sajoer-sajoeran, kita dapat memilih sesoeka hati.” Ah, buku itu membahagiakan pembaca. Indonesia berlimpahan sayur. Indonesia itu subur dan makmur. Pada masa kolonial, penjelasan itu “mujarab” saat kaum terjajah miskin, sulit makan, dibodohkan, dihinakan, dan menanggung derita terlalu lama. Buku mirip “janji di atas ingkar”. Ah, deretan kata itu berasal dari judul lagu cengeng. Buku nostalgia banget mamerkan gambar-gambar apik dan penjelasan-penjelasan ringkas. Kita mencatat bahwa sayuran tak menjadi cerita terpenting dalam sejarah Indonesia, sejak masa kolonial sampai masa revolusi. Pada abad XXI, sayuran tetap jauh dari halaman-halaman sejarah. Betapa…


Kita mencatat bahwa sayuran tak menjadi cerita terpenting dalam sejarah Indonesia, sejak masa kolonial sampai masa revolusi. Pada abad XXI, sayuran tetap jauh dari halaman-halaman sejarah. Betapa…


Kita akhiri belajar sayuran dengan rasa malu dan sesalan gara-gara telat. Buku terakhir berjudul Si Hijau yang Cantik (1984). Ingatlah, buku itu bukan roman atau kumpulan puisi romantis! Buku terbitan YOI-Gramedia (1984) memiliki anak judul: Aneka Sayuran Daun Hijau di Indonesia. Buku memuat tulisan-tulisan HAPC Oomen, Poorwo Soedarmo, Djoeweriah Poorwo Soedarmo, dan Surachmat Kusumo. Buku keren dan menakjubkan bagi orang-orang awam ingin mengenali sayuran, dilanjutkan mau menanam dan makan sayur.


Pengisahan sayuran dalam buku terasa kalem ketimbang omongan menteri atau gubernur. Pengakuan: “Kami bukanlah orang pertama yang menulis tentang sayuran daun, dan kami sungguh-sungguh berharap, mudah-mudahan kami bukan yang terakhir”. Kita jangan mengubah kalimat menjadi ironi: “Kami adalah pemakan sayuran terakhir di Indonesia”. Gawat! Indonesia itu negeri sayuran. Para sarjana Eropa dan pejabat kolonial membuktikan melalui riset dan pembuatan buku-buku kece sepanjang masa. Kita jangan membantah dan menganggap itu bohong. Ingat Indonesia, ingat sayuran. Pasti!


Kita pilihkan kutipan agak puitis: “Hijau itu bukan saja cantik tetapi juga merupakan warna yang sangat pokok dan universal. Hijau melambangkan kesanggupan hidup di alam semesta dan ia melambangkan pula kebutuhan hidup makhluk di buana ini….” Deretan kata cuma untuk memuliakan sayuran. Kita anjurkan agar buku itu terbaca sebelum kita dihajar berita-berita buruk di Indonesia. Bacalah, khatamlah! Buku itu wajib dicetak dan diedarkan pemerintah menggantikan sikap dan kebijakan mendadak sudah dicontohkan menteri dan gubernur. Belajar sayuran itu kehormatan bagi kita hidup di Indonesia. Kita pun berjanji belajar tanpa lupa rajin makan sayur dalam segala kondisi, dari patah hati sampai frustrasi memikirkan pilkada menambahi ruwet lakon Indonesia. Begitu.

_____________

Bandung Mawardi,

pemenang 3 Sayembara Kritik Sastra DKJ 2019,

Kuncen Bilik Literasi, Penulis Buku Terbit dan Telat (2020)

FB: Kabut



71 tampilan
bottom of page