Menghormati (Patung) Sejarah
top of page
Cari

Menghormati (Patung) Sejarah

SOLO gagal (lagi) masuk Jaringan Kota Kreatif Unesco. Keinginan untuk masuk dan terpilih sudah lama tapi ada hal-hal belum memadai menuruti kaidah-kaidah Unesco. Konon, pejabat-pejabat di Solo sudah bangga terselenggara ratusan acara (festival, karnaval, pameran) di Solo mengundang keramaian dan memicu perhatian publik. Kerja besar dan “menjemukan” itu belum dianggap penting di pengakuan Jaringan Kota Kreatif Unesco. Pejabat di Solo mengaku kecewa tapi sesumbar bakal terus mengadakan acara-acara besar bertaraf nasional dan internasional demi julukan kota kreatif. Gagal dua kali (2017 dan 2019) tak memungkinkan Solo mengajukan lagi pada 2021. Nasib belum beruntung disanggah dengan pengakuan bahwa Solo berpredikat kota kreatif nasional. Solo tak perlu malu dan cemburu.


Berita kegagalan itu belum menghasilkan polemik atau keinsafan untuk melakukan kerja dan peristiwa kreatif di Solo. Gagal tak terlalu digubris. Solo sedang sibuk mengadakan taman, monumen, dan patung. Pada 4 Desember 2019, patung terbuat dari perunggu sudah tiba di Jl. Ir. Sutami, Solo. Patung itu Soekarno naik kuda. Patung menjadi “warga” baru di Solo, setelah sekian patung sudah diadakan oleh pemerintah. Penempatan patung dekat Taman Satwa Taru Jurug dan Bengawan Solo. Pemerintah “telanjur” mengambil kebijakan menambahi patung demi menghormati tokoh sejarah. Tokoh itu Soekarno. Pejabat di Solo mungkin tak memiliki daftar tokoh besar dan berpengaruh di Solo atau Indonesia. Tahun demi tahun, pilihan sering Soekarno. Kebiasaan itu ditiru di kabupaten-kabupaten bertetangga dengan Solo. Misi menghormati tokoh sejarah digenapi kebanggaan para elite menjadikan lokasi patung untuk berpotret bagi warga. Konon, berpotret itu bukti faedah patung dan mencipta kebahagiaan kota.


Tokoh itu Soekarno. Pejabat di Solo mungkin tak memiliki daftar tokoh besar dan berpengaruh di Solo atau Indonesia. Tahun demi tahun, pilihan sering Soekarno. Kebiasaan itu ditiru di kabupaten-kabupaten bertetangga dengan Solo.

Kebijakan mengadakan patung baru membuktikan birokrasi di Solo belum bernalar atau berimajinasi kreatif. Mereka mengira monumen dan patung mengesahkan Solo itu kota kreatif. Berita di Solopos, 6 Desember 2019, merekam suara warga. Sekian orang mengaku “bosan” melihat Solo menambahi patung Soekarno. Mereka ingin ada tokoh-tokoh lain. Dua pengamat dari UNS memberi sejenis saran belum terang mengenai hikmah patung bagi pembentukan ikon kota. Solo menjadi kota selalu menambahi patung dengan sekian argumentasi dan capaian belum tentu terpenuhi. Kebijakan itu pasti berduit tak sedikit. Kerja mengadakan patung Soekarno berkuda di Jl. Ir. Sutami menggunakan dana dari APBD Perubahan 2019 sebesar 4,479 miliar rupiah.


Pemerintah tak ingin kerja itu mubazir. Sejak sekian bulan lalu, pihak pemerintah sudah menganjurkan agar warga bangga dan membuktikan dengan berpotret di lokasi patung. Keramaian dan jumlah foto terpamerkan di media sosial mengesahkan kebijakan pemerintah tepat sasaran dan memenuhi misi (sejarah). Patung dimaksudkan membuat lokasi itu semakin indah. Pemerintah sudah rapat dan berpikir dalam pembuatan kebijakan. Kita saja malas mencari keterangan resmi dari pihak pemerintah mengenai pamrih (penjelasan) sejarah pengadaan patung Soekarno berkuda di jalan selalu ramai. Pemerintah sedang sibuk, belum sempat membuat tulisan 3 sampai 12 halaman untuk disampaikan ke warga masih penasaran sejarah Indonesia. Dokumen berisi tulisan sejarah itu bermakna asal dijadikan acuan mengukur kadar makna dan kaitan patung dengan (sejarah) Solo.


Dulu, Soekarno membangun patung-patung di Jakarta. Kerja ambisius menghubungkan masa lalu dan masa revolusi belum selesai. Soekarno memikirkan waktu. Patung pun simbol untuk mengisahkan Indonesia dengan kemauan-kemauan besar dalam martabat dan kemajuan. Patung-patung bercerita heroisme, persatuan, pertanian, pendidikan, dan lain-lain. Kita mengingat episode revolusi menjadikan kota-kota tempat patung-patung, terutama Jakarta. Soekarno jadi pemberi seruan dan pemaknaan patung dimengerti publik secara politis atau kesejarahan. Patung-patung mengukuhkan kekuasaan meski ada ajakan memberi imbuhan arti di arus revolusi. Ben Anderson (2000) menganggap kebijakan patung-patung di masa kekuasaan Soekarno sering ambigu di kehendak politik dan nasib Indonesia di mata dunia. Patung dipandang dengan mata-mata ingin mengerti Indonesia dalam situasi makmur, berani, bersatu, dan kokoh. Di situ, pemaknaan mungkin manipulatif.


Pada abad XXI, ketangguhan Soekarno mengadakan patung-patung ditiru “sembarangan” oleh para pejabat di pelbagai kota dan kabupaten. Mereka nekat mengadakan patung-patung melulu Soekarno. Pilihan politis ketimbang sejarah asal kita menandai waktu masa pemerintahan si pejabat saat membuat kebijakan. Soekarno bukan buku. Soekarno bukan etos. Soekarno tak lagi sejarah ide-ide. Kini, ingatan ke Soekarno sering patung di tempat-tempat dianggap politis, taman, dan ruang publik. Dulu, Soekarno tak menghendaki diri bakal dikultuskan dengan patung. Di ratusan pidato, ia berseru ke publik memikirkan sejarah, menghormati tokoh, dan membentuk masa depan Indonesia. Soekarno tak pernah membuat surat wasiat agar cara menghormati adalah membuat ratusan patung Soekarno dengan sekian adegan.


Dulu, Soekarno tak menghendaki diri bakal dikultuskan dengan patung. Di ratusan pidato, ia berseru ke publik memikirkan sejarah, menghormati tokoh, dan membentuk masa depan Indonesia. Soekarno tak pernah membuat surat wasiat agar cara menghormati adalah membuat ratusan patung Soekarno dengan sekian adegan.

Kita mengutip penjelasan AL Rowes di buku berjudul Apa Guna Sejarah? (2014). Sejarah tak cuma berkaitan dengan kehidupan orang-orang hebat dan penguasa. Sejarah tersusun dari lakon kehidupan jutaan orang menghasilkan “material sejarah seperti batu karang menjadikan kehidupan bagi jutaan makhluk kecil di lautan.” Metafora gampang terpahami. Sejarah tak mutlak seorang tokoh. Kita menduga para pejabat sering mengadakan patung Soekarno belum mau merepotkan diri membaca (buku-buku) sejarah. Mereka malah tak lagi mengajak publik memberi jawab atas kegunaan sejarah. Kini, mereka menggoda kita dalam soal: “Apa guna patung?”


Patung tokoh belum tentu dipandang sejarah. Pejabat saja memberi pengertian patung itu berguna untuk berpotret warga. Di hadapan patung, orang-orang memandang berpamrih mencari kepantasan dan kemantapan dalam berpotret. Memandang patung masih sulit berarti memandang sejarah. Kagum bisa tampak tapi sejarah sebagai “pemikiran” mungkin berada di kejauhan, sulit terjamah dan termiliki. Patung dan sejarah sedang dipaksakan di Solo. Kebijakan dan paksaan belum digenapi tulisan atau pidato bermutu memungkinkan ada debat pemaknaan dan perhitungan kegunaan patung bagi Solo masa depan.


Nasib Solo gagal masuk Jaringan Kota Kreatif Unesco dan kebanggaan mengadakan lagi patung Soekarno anggaplah di persimpangan makna estetika dan sejarah. Kita mendingan berusaha mengerti keterangan Yusman selaku perupa sering mengerjakan patung-patung dimaksudkan mengandung sejarah. Di Kompas, 6 Desember 2019, Yusman menerangkan: “Saya tertarik membuat patung, diorama, dan relief sejarah bangsa ini karena kebenaran sejarah belum terungkap seutuhnya. Kebenaran sejarah yang terungkap saat ini hanya 20 persen, selebihnya perlu didalami lagi.” Selama puluhan tahun, ia mengerjakan patung Pangeran Diponegoro, Soekarno, Jenderal Soedirman, Soeharto, dan lain-lain. Yusman menganggap semua itu “patung sejarah”. Kita mungkin menerima atau meragu saat melihat Solo semakin bertambah patung Soekarno tapi belum memastikan bertambah (pengetahuan) sejarah. Kita mengandaikan Solo pun mengalami gagal dalam mencipta jaringan sejarah bersumber masa lalu dan patung di pelbagai tempat. Begitu.


Bandung Mawardi,

Kuncen Bilik Literasi Solo

FB: Kabut

175 tampilan
bottom of page