Mendongengkan Pengetahuan
Buku berisi rangkaian fakta telanjang, apa asyiknya dibaca, apalagi "hanya" untuk mengisi waktu luang? Deretan data panjang, apa mungkin disulap jadi cerita yang "nendang"? Apa belum cukup buku pelajaran sekolah, sampai-sampai mesti menyertakan bacaan nonfiksi di kelas bahasa dan sastra, selain sastra fiksi sendiri?
Asyik karena dengan begitu kita mengikuti pemikiran terkini dalam berbagai bidang pengetahuan, adalah jawaban yang pertama. Sedangkan untuk pertanyaan kedua dan ketiga, kita bisa menjawabnya melalui bukti yang gampang ditemukan dan studi yang sudah dilakukan.
Hanya karena kebetulan saya sempat belajar sains alam, maka saya lekas tertarik dengan upaya para komunikatornya beramai-ramai turun dari ketinggian menara gading untuk menceritakan pada awam apa saja yang sudah dan sedang mereka lakukan, dan bagaimana ini dapat membuat hidup lebih baik dan bermakna. Saat ini mudah kita temukan buku-buku nonfiksi yang sengaja dirancang cukup ringkas untuk dibaca orang-orang modern yang selalu bergegas-gegas.
Yang saya pikirkan adalah, tentu saja, buku berjudul Astrophysics for People in a Hurry oleh Neil deGrasse Tyson. Sisi astrofisika dari jagat raya dikisahkan secara ringan dan menarik ke dalam 224 halaman buku asli (terjemahannya dalam bahasa Indonesia menjadi 144 halaman). Pada Mei 2017 buku ini menjadi buku nonfiksi paling laris menurut The New York Times.
Buku serupa yang tak kalah indahnya, juga ringkasnya, terbit pada 2014, Sette brevi lezioni di fisica oleh Carlo Rovelli, fisikawan teori asal Italia. Buku ini telah diterjemahkan ke dalam 41 bahasa, dan dalam bahasa Inggris, Seven Brief Lessons on Physics hanya setebal 96 halaman. Ini, menurut penulisnya, cukup untuk mengantarkan pembaca pada teori fisika mulai dari relativitas Einstein hingga mekanika kuantum yang menemani kita memahami cara kerja alam semesta.
Bukannya saya percaya, mudah-mudahan, bahwa semakin tipis nonfiksi maka semakin bagus mutunya. Tebal tipis nonfiksi semata-mata menunjukkan, menurut saya, itikad kuat dari para penulisnya untuk menjangkau sebanyak mungkin awam peminat sains di luar sana, demi diseminasi gagasan-gagasan ilmiah yang mereka tekuni seumur hidup. Menunjukkan juga kedalaman pemahaman mereka atas ilmu tersebut sehingga dapat menceritakannya secara cukup sederhana. Dalam hal ini tampaknya tak berlebihan apabila saya bilang memang ada semangat "kompetisi" di antara mereka, terlihat dari adanya buku semacam How to Teach Quantum Physics to Your Dog oleh fisikawan Chad Orzel pada 2010. Seolah-olah mereka bukan saja mau membuktikan pada Richard Feynman, malah ingin melampaui pesannya, “If you cannot explain something in simple terms, you don't understand it.”
Ketebalan (ketipisan) buku baru satu pertimbangan untuk meyakinkan calon pembaca bahwa ilmu pengetahuan sebenarnya tidak serumit itu untuk dimengerti, sebagaimana selama ini dibayangkan orang. Cara lain adalah dengan format alternatif, misalnya komik. Maka saya menemukan serial komik ratusan halaman The Cartoon History of the Universe (Kartun Riwayat Peradaban dalam terjemahan Indonesia) yang terdiri dari tiga jilid (sembilan belas volume), oleh sosok multitalenta Larry Gonnick. Tidak cukup bercerita lewat gambar tentang sejarah dunia, sang kartunis melanjutkannya dengan komik-komik lain tentang statistik, kimia, hingga lingkungan.
Dari ranah sebelah, saya menemukan sisi yang sangat menarik dan membantu saya melihat dunia dari sudut lain dalam dua volume Palestine (Palestina, dalam terjemahannya) karya Joe Sacco. Palestina dikisahkan tidak lagi melulu menurut pandangan politikus, atau oportunis, apalagi orang-orang di luar negara itu, melainkan langsung dari penduduknya, manusia-manusia yang berdiam persis di lokasi konflik, yang disekat banyak faksi dengan motif dan cita-cita masing-masing.
Komik nonfiksi lain merupakan hasil kolaborasi antara ilmuwan dan seniman, misalnya Charles Darwin's On the Origin of Species: A Graphic Adaptation (2009) oleh Michael Keller dan Nicolle Rager Fuller, The Stuff of Life: A Graphic Guide to Genetics and DNA (2009) oleh Mark Schultz, Kevin Cannon, dan Zander Cannon, hingga yang mencoba mengenalkan alam filsafat seperti Philosophy for Beginners (2007) oleh Richard Osborne dan Ralph Edney, atau yang paling seru serial Action Philosophers! oleh Fred van Lente dan Ryan Dunlavey yang mendapat hibah Xeric Grant 2004 hingga bisa swaterbit pada 2005. Serial ini mencapai sembilan volume yang “merinci kehidupan dan pemikiran tokoh dari daftar otak cemerlang tepercaya dalam sejarah dengan cara ‘kekinian’ serta jenaka yang membuktikan bahwa filsafat bukan cuma wilayah para profesor kampus yang bergelung jas wol membosankan.”
Format komik tampaknya melebihi faktor lain dalam peluang jangkauan pembaca. Mengingat karakteristiknya yang fun, format ini sangat mungkin diterima juga oleh pembaca belia. Generasi visual, begitu konon sebutan untuk anak-anak milenial. Sejak melek mereka sudah terpapar gambar-gambar menakjubkan yang disajikan layar gawai. Kepekaan mereka akan kualitas grafis jauh meninggalkan generasi sebelumnya. Komik nonfiksi pun dibuat untuk anak-anak dengan ciri ini. Serial WHY digarap oleh berbagai saintis dan seniman Korea Selatan dengan beragam tema mulai dari sains alam, sosial, ekonomi, sejarah, hingga biografi. Karena penasaran, saya pernah memastikan pada seorang bocah yang membaca tema filsafat dalam serial ini apakah dia mengerti yang diceritakan buku itu. Dan ia menjawab, “Ngerti, dong.” Apa pun yang dia maksud dengan jawabannya ini, bagi saya cukup bahwa ia menuntaskan buku itu.
Demikian pula kesan saya pada bocah lain yang menyelesaikan enam komik nonfiksi tentang petualangan sintas karakter-karakter nyata di berbagai lokasi real, juga pada bocah lain lagi yang mengulang-ngulang membaca serial komik sejarah perang. Mengetahui bahwa peristiwa dan tokoh dalam komiknya benar-benar ada dan bisa mereka periksa keadaannya saat ini, setidaknya melalui internet, bagi saya sudah berarti sesuatu.
Baiklah, sampai di sini saya cukupkan mempromosikan komik alih-alih buku "normal" seperti seharusnya direkomendasikan sebagai bahan latihan membaca. Bagaimanapun juga latihan membaca dilakukan kontinu dalam dua jalur paralel, yaitu membaca mandiri berdasarkan kesukaan personal bocah untuk merangsang minat bacanya, dan membaca dengan bimbingan guru menggunakan buku-buku tertentu yang khusus "diresepkan" sesuai level kesulitan teks dan kemampuan baca anak. Nah, buku nonfiksi apa yang bisa digunakan anak-anak sebagai latihan membaca untuk meningkatkan kemampuannya?
Pertanyaan yang lebih pantas maju lebih dulu adalah: Mengapa harus nonfiksi, apa pentingnya?
Tak ada yang salah dengan cerita fiksi. Walaupun, dalam literasi jumlah bacaan bukan satu-satunya yang penting. Jenis bacaan tidak kalah penting dicermati. Fiksi dan nonfiksi mendapat porsi seimbang dalam latihan membaca karena membawa ciri dan efeknya masing-masing. Sementara fiksi mengasah daya imajinasi dan kreativitas pembaca, maka nonfiksi yang biasanya berupa paparan sistematis akan menuntut pemikiran kritis dan analitis sebelum sampai pada kemampuan sintesis. Selain itu, masih menurut ahli, bacaan nonfiksi akan menambah kemampuan anak dalam membaca dan memahami teks yang kompleks, yang akan semakin sering dijumpai anak bersamaan ia menginjak jenjang pendidikan tinggi atau dunia kerja.
Di sisi lain, bacaan nonfiksi menambah khazanah pengetahuan pembaca. Khazanah ini menjadi bagian penting dalam bangunan pengetahuan terdahulu atau pengetahuan latar (prior knowledge atau background knowledge) seseorang. Studi oleh Robert J. Marzano menunjukkan, “Dari semua faktor di level-siswa, pengetahuan latar punya efek paling besar pada prestasi siswa. Ini menyiratkan bahwa semakin banyak siswa tahu tentang suatu topik, maka ia akan semakin mampu dalam mempelajari informasi baru tentang topik tersebut.” (A New Era of School Reform: Going Where the Research Takes Us, 2000). Ia melanjutkan dengan usulan dua intervensi mendasar untuk meningkatkan pengetahuan latar akademis ini yang salah satunya adalah, “Program membaca dalam hati berkelanjutan (SSR: Sustained Silent Reading) yang berfokus pada murid-murid yang membaca nonfiksi dan fiksi dalam berbagai format (misalnya buku, majalah, informasi dari internet) tentang topik pilihan mereka sendiri.” (Building background knowledge for academic achievement: research on what works in schools, 2004).
Dengan demikian maka perlu dihitung proporsi bacaan fiksi dan nonfiksi (informatif) di kelas bahasa dan sastra agar efektif. Saya mengambil contoh dari kurikulum di negara Amerika, yaitu hingga kelas IV anak-anak membaca sama banyak antara fiksi dan nonfiksi, lalu kelas V hingga VIII 45% fiksi dan 55% nonfiksi, dan setelahnya hingga kelas XII proporsinya menjadi 30:70. Semakin tinggi kemampuannya, maka bacaan siswa mestinya lebih banyak nonfiksi untuk mempersiapkan mereka ke tahap (akademik atau nonakademik) berikutnya.
Sementara bacaan nonfiksi ini, menurut pengalaman di atas, sangat efektif diperkenalkan pada anak-anak lewat komik dan sejenisnya, lambat laun mereka perlu berlatih membaca buku dengan komposisi dominan teks seperti yang akan semakin sering mereka temui. Sayangnya, tidak banyak buku lokal semacam ini yang sekaligus cukup sederhana dan bagus untuk dibaca anak-anak.
Sebaliknya saya menemukan terjemahan Seri Tokoh Islam (Great Muslim Philosopher and Scientists of The Middle Ages, 2006) yang secara ringkas dan menarik menceritakan kehidupan enam cendekiawan muslim dari abad pertengahan, yaitu Avicenna (Ibnu Sina), Averroes (Ibnu Rusyd), Al-Biruni, Al-Kindi, Al-Khwarizmi, dan Albucasis (Abul-Qasim al-Zahrawi). Dari tebal setiap buku yang hanya sekitar 100 halaman, susunan isi yang sistematis, kata-kata yang mudah, lengkap dengan referensi, dan para penyusun dengan latar belakang sejarah, serial ini bagus sebagai bahan latihan baca siswa SD dan SMP.
Anak-anak dengan level kemampuan baca yang lebih tinggi bisa memilih buku yang semakin mendetail menceritakan proses perjuangan seseorang. Tokoh yang sebaya akan memudahkan keterhubungan pembaca dengan isi buku. Misalnya memoar Malala Yousafzai dari perbatasan Pakistan-Afganistan (I Am Malala, 2013), atau Anne Frank gadis Jerman di Belanda pada masa Perang Dunia II (Het Achterhuis, 1947 atau The Diary of a Young Girl, 1952), atau William Kamkwamba dari Malawi (The Boy Who Harnessed the Wind, 2010). Seorang bocah berkomentar betapa kehidupan William sangat menyedihkan (mengerikan). Bagi saya ini semacam respons kuat dari pembaca yang hidup di tempat yang jauh berbeda dengan seting cerita. Dan, mengenali adanya perbedaan seekstrem ini sedari dini adalah hal positif.
Dari rak nonfiksi lokal tertangkap oleh saya Seri Buku Tempo Bapak Bangsa (2013), Merah Putih di Old Trafford (Langlang Randhawa, 2010), Kambing yang Cerdas (Drs. Hiskia Achmad, 2013), dan Manusia Indonesia (Mochtar Lubis, 2012 cetak ulang).
Membaca berbagai tema nonfiksi akan menambah pengetahuan latar anak, seperti studi Marzano. Meskipun tidak lantas menjadi serbatahu, setidaknya ia menyadari ada banyak pengetahuan di luar sana. Ketika ia tahu bahwa dirinya tidak cukup tahu akan sesuatu hal, maka dia dapat mengendalikan diri untuk tidak sok tahu, dan mendorongnya untuk mencari tahu lebih jauh, jika memang ia meminati atau memerlukannya.
Seperti halnya cerita fiksi membawa kita pada lamunan introspektif, maka sudah semestinya bacaan nonfiksi memancing diskusi kritis di antara pembaca yang pro dan kontra. Pembaca nonfiksi akan melihat betapa satu peristiwa tunggal akan diamati dari 1001 titik pantau, dengan sudut dan daya perbesaran yang berlainan, hingga melahirkan 1001 versi cerita pula.
Bagaimana mutu buku nonfiksi yang dibuat secara cukup sederhana (ringan) itu, bisa dilihat dari ulasan kritikus di media masing-masing, atau oleh pembacanya langsung misalnya di komunitas goodreads atau toko daring seperti Amazon. Sengaja saya menyebutkan judul aslinya (semua buku di atas sudah tersedia terjemahan dalam bahasa Indonesia, kecuali buku Chad Orzel) karena memudahkan untuk mencari resensinya.
Betapa menyenangkan, dan berguna, ketika buku-buku nonfiksi dibaca bersama di dalam dan luar kelas sedemikian hingga anak-anak sama bersemangatnya saat membicarakannya seperti mereka berbusa-busa membahas serunya pertarungan antarkarakter di negeri Wakanda atau kelucuan tingkah polah Nobita dan Dorameon.
Dian Vita Ellyati, penikmat sastra
FB: Vita Ellyati
Comments