Membaca Pendidikan Orang Biasa
MEMBACA Laskar Pelangi (2005) dan Sang Pemimpi (2006) gubahan Andrea Hirata, seperti mengamati pendidikan di Indonesia. Apalagi sebagai anak yang pernah merasakan ketertinggalan pendidikan di daerahnya, kami seakan menjadi bagian dari tokoh dalam cerita. Dalam dua novel itu, terlebih, Hirata ingin menunjukan pada dunia Indonesia, keterbatasan fasilitas dan biaya pendidikan tak menyurutkan semangat anak-anak Bangka Belitung: bermimpi dan memburu cita-cita. Bahkan kita tak menyangka, cerita tersebut pun merebak hingga pelbagai negara Asia, Eropa, dan Amerika.
Kini, Hirata kembali bercerita pendidikan lewat Orang-orang Biasa (2019), meski tak lagi berlatar Belitung. Tapi, pendidikan masih bercerita orang miskin yang bermimpi sukses dengan upaya dan ketekunan. Tentu dengan tokoh-tokoh jenaka yang menghibur pembaca. Karya ini dipersembahkan khusus kepada Putri Belianti, anak miskin yang cerdas, dan kegagalannya yang getir masuk Fakultas Kedokteran, Universitas Bengkulu.
Memang di awal pengantar, kita telah diberitahu: “Novel ke-10 Andrea Hirata ini lahir dari kekecewaan atas kegagalannya memperjuangkan seorang anak miskin yang pintar untuk masuk fakultas kedokteran. Meski telah diterima, tapi ia tak dapat kuliah karena tak mampu membayar uang muka.” Itu mengapa, ketika merampungkan bacaan novel ini, kita dengan mudah menebak, tokoh Aini, putri sulung pedagang mainan anak-anak, jelmaan dari Putri Beliantik.
Mulanya, Aini adalah anak terbodoh di kelasnya, terutama ihwal matematika. Ia sampai berkali-kali dihukum oleh Ibu Desi Mal, guru matematika, lantaran tak bisa mengerjakan soal matematika. Tentu pula, nilai Aini selalu merah setiap kali semester, sehingga beberapa kali ia tak naik kelas. Kebodohan itu bawaan dari Dinah, ibu Aini yang juga bodoh matematika. Saking bodohnya, setiap kali jam matematika, Dinah selalu pura-pura sakit perut agar tidak ditanya dan mendapat hukuman. Pun tak sanggup dengan pelajaran matematika, Dinah berhenti sekolah dan memilih menjadi pedagang mainan anak-anak.
Namun, kebodohan selalu saja teratasi dengan ketekunan belajar karena bodoh tak absolut. Paling tidak itu yang dibuktikan Aini. Semenjak ayahnya meninggal, ia mulai tekun belajar karena ingin menjadi dokter ahli. Sebab, saat ayahnya dirawat di rumah sakit, kata seorang perawat, penyakit ayahnya hanya bisa ditangani oleh dokter ahli. Kendati tak mengerti ahli apa, Aini tetap ingin menjadi dokter ahli agar bisa mengatasi penyakit serupa, yang diderita ayahnya. Dari situ, Aini hanya menghabiskan waktu dengan belajar, di sekolah, maupun di rumah. Membaca hingga berlarut-larut. Terutama setiap pulang sekolah, Aini selalu mengulangi pelajaran yang diterima dari sekolah.
Perubahan itu seperti diceritakan Hirata: “... nilai-nilai memang telah merosot sebelumnya, Aini kembali ke sekolah dan langsung tak naik kelas. Kawan-kawan berbondong-bondong naik ke kelas 2 SMA, dia tetap di kelas 1. Lalu ibunya melihat keanehan itu, yakni sekonyong-konyong Aini punya kebiasaan baru, membaca buku. Tak pernah buku lepas dari tangannya. Dia duduk membaca di pojok situ, di antara tumpukan barang dagangan. Apa pun yang lewat di depannya, ibunya, adik-adiknya, ayam, kucing, cecak, tak dihiraukannya. Tak pernah Dinah melihat Aini seperti itu sebelumnya. Dia nyaris tak bergerak, dia membaca dan mencatat-catat hingga jauh malam. Sering ibunya mendapatinya jatuh tertidur dengan buku terlungkup di atas wajahnya.”
Berkat ketekunan itu, Aini mulai mengalami perubahan. Sebelumnya dia lebih banyak diam dan menunduk saja jika ditanya guru sehingga guru-guru malas bertanya padanya. Keadaan mulai terbalik, Aini minta tempat duduknya dipindahkan ke depan dan giliran dia memberondong guru-guru dengan pertanyaan, sampai pusing mereka dibuatnya. Berulang kali Ibu Desi menjelaskan hal yang sama dan mengatakan bahwa pertanyaannya remeh sekali. Tak merasa puas dengan perkataan Ibu Desi, Aini datangi guru matematika itu untuk belajar privat matematika. Kendati berkali-kali ia ditolak, ia terus-terus datang dan menunggu sampai diterima. Hingga suatu waktu Ibu Desi berkata padanya, “Jangan ke sini lagi kau, Aini! Lelah aku mengajarimu! Kau tak paham-paham! Naik tensiku gara-gara kau!”
Tapi, ocehan itu tak menyurutkan semangat dan niatnya. “Esok sorenya, Aini sudah berdiri lagi di bawah pohon nangka itu sambil mendekap buku-buku dan memegangi perutnya. Ibu Desi marah-marah, tetapi membukakannya pintu. Mereka belajar matematika lagi dan tensi Bu Desi naik lagi. Habis Aini didampratnya. Namun, semakin keras Ibu Desi memarahinya, semakin kuat kemauan Aini untuk bisa matematika. Semakin ibu Desi mengusirnya, semakin dia datang lagi. Diusir blak-blakan oleh Bu Desi, Aini mengambil sikap macam orang tak tahu diri. Akhirnya, Ibu Desi mengambil kesimpulan, bahwa mereka yang mau belajar, tak bisa diusir.”
Mendapat belajar privat dari Ibu Desi, Aini berhasil mengatasi kutukan: sebagai anak yang bodoh matematika. Nilainya makin hari makin membaik hingga di atas rata-rata. Namun, untuk mengejar cita-cita menjadi dokter, tak pula semulus itu. Apalagi terlahir dari keluarga pedagang asongan, jangankan kuliah, sekadar untuk makan, nyaris tak cukup. Memang dalam novel ini, keluarga Aini melakoni keluarga miskin yang tangguh dan ulet. Usai tamat SMA, Aini terkendala biaya untuk melanjutkan kuliah kedokteran. Karena merasa kasihan dengan Aini yang berprestasi, Dinah siap melakukan apa saja agar mendapatkan uang 80 juta untuk putrinya. Termasuk mencoba melakukan pinjaman di koperasi dan bank. Tapi setelah nyaris keluar-masuk semua koperasi dan bank di Kota Belantik, tak ada hasilnya. Justru diolok-olok dan ditertawai karena meminjam tanpa jaminan apa-apa.
Jika sudah begitu, tak lagi ada tempat untuk orang miskin menaruh harapan. Adalah mencuri menjadi jalan pintas, seperti yang ditempuh Dinah dan rekan-rekannya. Sikap itu diambil oleh sahabat-sahabat Dinah ketika mengetahui prestasi Aini dan keinginan untuk menjadi dokter tapi tak punya biaya. Meski Dinah sempat menolak, karena tak mau menanggung resiko. Namun setelah mendengar penjelasan dari teman-temannya, Dinah dapat mengamini. Kata Debut, salah satu temannya, mereka tidak merampok, tapi “meminjam” uang di bank. Uang tersebut akan dikembalikan setelah Aini merampungkan kuliah dan bekerja.
Akhirnya, selama delapan hari melakukan pertemuan untuk persiapan, delapan kawanan itu berhasil merompok uang milik Bastardin, musuh bebuyutan mereka sejak sekolah, di Toko Mulia, lewat cara bersiasat gagal merampok di bank. Dan dengan uang tersebut, Aini bisa menempuh kuliah kedokteran.
Para pencuri itu adalah teman-teman Dinah, yang senasib, memilih berhenti sekolah karena merasa bodoh, tidak sanggup menerima pelajaran. Mereka orang-orang biasa yang apes, tapi ulet dan jenaka. Dalam hidup, baru sekali itu mereka melakukan pencurian di kota yang damai, atas nama pendidikan. Itu mengapa Kota Belantik yang dikenal kota terdamai, tiba-tiba dihebohkan dengan aksi pencurian. Terlebih menambah daftar kasus dan kesibukan polisi, Inspektur Abdul Rojali dan Sersan P. Arbi, untuk memburu pelaku kejahatan.
Membaca novel ini kita seakan menyaksikan kondisi pendidikan Indonesia. Sebab, tak hanya Aini atau Putri Belianti, masih banyak anak Indonesia yang kesulitan kuliah karena terkendala biaya. Bahkan tak sedikit pula anak putus sekolah karena terbebani biaya pendidikan yang mahal. Kalau sudah begitu, tak jarang masa depan anak-anak menjadi musibah: pelbagai kejahatan kriminal dilakukan, termasuk menjadi pencuri. Itu sebabnya kini, kita masih berharap kebijakan pemerintah membuahi solusi yang berpihak pada pendidikan dan kemiskinan.
Ghalim Oemabaihi,
penggiat literasi di Perpustakaan Independensia, Ternate
Comments