Membaca Musik Indonesia
Bandung Mawardi
SEKIAN hari lalu di Jogjakarta, para seniman mengadakan Ibadah Musikal. Acara untuk mengenang dengan “girang” kepergian Djaduk Ferianto. Keluarga, panitia, dan para seniman berjanji girang, bukan sedih atau menangisi almarhum. Di jagat seni musik, Djaduk Ferianto dalam pelbagai garapan musik ingin mengajak orang-orang tertawa. Pada saat tertawa, orang-orang mengerti ketololan, kekhilafan, keluguan, kengawuran, kemarahan, dan keamburadulan. Djaduk Ferianto dalam bermusik ingin teringat dengan mesem dan tawa, dari garapan keroncong dan sampai jazz.
Di jagat seni musik, Djaduk Ferianto dalam pelbagai garapan musik ingin mengajak orang-orang tertawa. Pada saat tertawa, orang-orang mengerti ketololan, kekhilafan, keluguan, kengawuran, kemarahan, dan keamburadulan.
Sekian hari lalu, kita juga mendapat berita pergelaran Java Jazz Festival 2020 di Jakarta. Acara itu bernama jazz tapi tak melulu memberi suguhan jazz ke penonton. Para artis musik pop pun mendapat tempat. Ardhito Pramono menjadi musikus pujaan di festival, memberi rangsang berbeda bagi penikmat jazz. Pujian ke Ardhito mungkin pula dipengaruhi setelah ia bermain sebagi Kalen dalam film berjudul Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini (2019). Film itu pamer sekian garapan musik, memberi undangan ke para penonton mulai menggemari lagu-lagu Hindia.
Acara-acara musik terus digelar di pelbagai kota, dari dangdut sampai blues. Koran dan majalah masih rajin memberitakan puluhan acara penting atau berdampak bagi perkembangan musik di Indonesia. Berita terbaru di Solo adalah Tamagochil Festival direncanakan berlangsung di Pamedan Pura Mangkunegaran, 18 April 2020. Festival itu menghadirkan Dewa 19, Didi Kempot, dan Nidji (Solopos, 7 Maret 2020). Solo masih menjadi kota pilihan untuk konser-konser besar beragam musik, tak cuma gamelan atau keroncong sudah rutin diselenggarakan oleh pemerintah dan pelbagai pihak.
Solo masih menjadi kota pilihan untuk konser-konser besar beragam musik, tak cuma gamelan atau keroncong sudah rutin diselenggarakan oleh pemerintah dan pelbagai pihak.
Pada 9 Maret 2020, kita memperingati lagi Hari Musik Nasional saat pemberitaan peristiwa-peristiwa musik terus mengajak pembaca memahami perkembangan musik mutakhir. Kini, kita ingin membaca musik melalui majalah dan buku, setelah sering mendengar musik setiap hari. Kita memperingati dengan membaca untuk majalah dan buku masih mungkin dimaknai di latar zaman berbeda. Kita tak perlu murung atau berlagak prihatin atas nasib musik. Di Indonesia, pemuatan tulisan-tulisan bertema musik masih menggairahkan di koran dan majalah. Para penulis tetap saja menerbitkan buku-buku mengiringi musik kekinian atau mengenang musik masa lalu.
Pada 2020, konser-konser mengundang artis atau kelompok musik legendaris asal Indonesia dan luar negeri memastikan Indonesia masih “panggung” memberi untung. Scorpions dan Whitesnake baru saja pentas di Jogjakarta. Publik mulai diminta mengingat “Jogjarockarta”. Para penggemar lawas dan baru membarakan gairah di konser-konser rock. Acara itu memicu keinginan para musisi dan produser mengadakan “Surockboyo”. Kita menduga mereka memiliki nostalgia rock masa 1980-an dan 1990-an bermunculan di pelbagai kota melalui festival-festival, konser, dan kelarisan penjualan kaset.
Publik mulai diminta mengingat “Jogjarockarta”. Para penggemar lawas dan baru membarakan gairah di konser-konser rock. Acara itu memicu keinginan para musisi dan produser mengadakan “Surockboyo”.
Kita bisa membaca arus sejarah konser-konser musik di buku berjudul 100 Konser Musik di Indonesia (2018) susunan Anas Syahrul Alimi dan Muhidin M Dahlan. Buku itu persembahan berkaitan 9 Maret, tanggal keramat bagi umat musik di Indonesia. Buku “untuk mereka yang terlibat dengan gigih di jalan pertunjukan musik Indonesia.” Buku tebal dan mahal tapi merawat ratusan pemberitaan konser musik di Indonesia, dari masa ke masa. Di pengantar, kita mendapat peringatan: “Peristiwa seni konser musik adalah historika penting, bukan saja bagi musik itu sendiri, tapi juga sejarah panjang budaya ‘panggung bunyi’ di Indonesia. Karena sifatnya keramaian besar, konser musik menjadi festival budaya populer terbesar. Ia mempertemukan antara produsen musik, pengelola dan pebisnis musik, piramida besar penonton, pengelola wisata, serta pemilik regulasi.”
Kita mulai ingat konser-konser bersejarah di Indonesia dengan kemonceran Dara Puspita, OM Soneta-Rhoma Irama, Swami, God Bless, Kantata Takwa, Dewa 19, Slank, Efek Rumah Kaca, Payung Teduh, dan lain-lain. Setiap zaman, konser musik memberi cerita selera dan industri turut membentuk identitas, konflik, protes politik, gerakan sosial, dan lain-lain. Pada masa lalu, penggemar musik tentu mengenali AKA (Apotek Kaliasin). AKA mengingatkan kita pada Ucok Harahap. Di panggung-panggung, AKA mula-mula memainkan lagu-lagu Led Zeppelin, Deep Purple, dan Black Sabbath. Konser-konser AKA sering fantastis selain sekian album rekaman laris di pasar.
Di buku berjudul Ucok AKA Harahap: Antara Rock, Wanita, dan Keruntuhan (2013) susunan Siti Nasyi’ah, kita membaca pengakuan: “Untuk melengkapi aksi panggung AKA, aku menciptakan aksi teatrikal.” Patokan itu terbukti di konser-konser spektakuler ditonton puluhan ribu orang. Sekian kenangan Ucok: “Seperti menggelantung dari atas pohon. Tubuhku digantung dengan kepala di bawah dan kaki di atas. Memboyong peti mati, hingga berjumpalitan seperti kuda lumping, kulakukan secara total. Aku juga kerap melakukan adegan yang membahayakan jiwaku seperti dirajam dan dipukuli algojo hingga babak belur.” Konser teatrikal berhasil mencatatkan AKA di album sejarah (konser) musik Indonesia sepanjang masa.
Pada abad XXI, kita tak lagi melihat “kengerian” dan “kelucuan” di panggung-panggung konser. AKA mungkin tak memiliki ahli waris. Kini, pilihan tempat dan format konser sudah agak menjauh dari kenekatan-kenekatan seperti di masa lalu. Kita masih beruntung menikmati kesejarahan konser itu melalui majalah dan buku-buku. Di majalah Hai, Aktuil, Tempo, Jakarta-Jakarta, Gong, dan Rolling Stone Indonesia, kita bisa membuat daftar konser dan penilaian-penilaian. Majalah-majalah menjadi dokumentasi bersama peran koran-koran membuat liputan dan ulasan. Jurnalisme musik terus memberi gairah ke umat musik mengenang masa lalu dan memahami situasi mutakhir. Musik terus terdengar, tertonton, dan terbaca.
Pada 2018, terbit buku berjudul Jurnalisme Musik dan Selingkar Wilayahnya garapan Idhar Resmadi. Kita simak pengamatan musik dan pers di masa Orde Baru: “Memasuki era 1980-an dan 1990-an, pers Indonesia mulai mengalami industrialisasi lewat masuknya pemodal-pemodal raksasa yang berujung pada lahirnya konglomerasi media.” Situasi itu mengakibatkan tulisan-tulisan kritis tentang musik di media cenderung berkurang dan menghilang. Tulisan-tulisan dimuat di koran dan majalah cenderung “alat promosi musisi atau album". Perubahan selera jurnalisme musik masih memungkinkan industri musik bertumbuh dan membesar dengan beragam aliran.
Situasi itu mengakibatkan tulisan-tulisan kritis tentang musik di media cenderung berkurang dan menghilang. Tulisan-tulisan dimuat di koran dan majalah cenderung “alat promosi musisi atau album.”
Kita mungkin paling ingat membaca musik adalah membaca Hai di masa 1990-an. Majalah remaja itu bergelimang musik. Di Bilik Literasi (Solo), kita bisa simak ratusan edisi majalah Hai sebagai “rumah dokumentasi” musik di Indonesia. Kita membuka Hai edisi 21-27 Mei 1991. Di situ, ada tulisan serial berjudul “Skandal Musik Nasional”. Edisi menguak pahit-manis karier Anggun C Sasmi, Nicky Astria, dan Nike Ardilla. Skandal terjadi dalam penjiplakan lagu, “perampokan” lagu di album rekaman, kontrak album, honor, promosi, konser, dan lain-lain. Kesibukan membuka ratusan majalah Hai memungkinkan kita memiliki kronik dan catatan pasang-surut (industri) musik menghasilkan laba besar.
Pada suatu masa, industri musik itu dikritik oleh Suka Hardjana dalam buku berjudul Esai dan Kritik Musik (2004). Pengamat musik itu menjelaskan dengan sengit: “Prosentase terbesar perkembangan musik di Indonesia–barangkali sampai 99%– adalah seni klangenan bersifat hiburan. Musik hiburan, bukan musik seni. Musik hiburan di Indonesia ini pun modelnya masih banyak tergantung pengaruh musik dari luar yang banyak menginvasi penggemar dan konsumen musik Indonesia.” Industri musik jalan terus tapi kritik-kritik masih ada meski mental atau berlalu.
Rangkaian sejarah dan perkembangan musik di Indonesia sudah tercatat di majalah, koran, dan buku. Kini, ikhtiar mendokumentasi pun mulai berlangsung di situs-situs internet. Kita tetap membaca musik, selain mendengar dan menonton musik. Pada awal 2020, keinginan kita membaca musik dipenuhi oleh buku berjudul Dua Dekade Musik Indonesia 1998-2018 susunan Kelik M Nugroho dan bersama tim riset di Solo. Buku memuat profil, kronik, dan group band pilihan. Buku tentu belum lengkap meski sudah besar dan tebal. Pembuatan kronik di buku membuktikan sumber-sumber terpenting adalah koran dan majalah. Kini, kita berhak memperingati Hari Musik Nasional dengan membaca (lagi) buku, koran, dan majalah berharap musik terus merangsang obrolan lebih panjang ketimbang durasi rata-rata lagu di industri musik Indonesia. Begitu.
__________
Bandung Mawardi,
pemenang 3 Sayembara Kritik Sastra DKJ 2019,
Kuncen Bilik Literasi, Penulis Buku
Pengisah dan Pengasih (2019)
FB: Kabut
Comentarios