Koran dan Pembaca "Beriman"
DI pinggir jalan, orang-orang sulit mencari penjual koran. Di angkringan atau warung, nasi-nasi bungkus mulai jarang menggunakan koran. Kita melihat pembungkus adalah kertas berasal dari buku LKS atau kertas berwarna cokelat. Koran bukan lagi pilihan gara-gara tipis, cepat robek, atau tak sedap di tatapan mata. Keinginan mencari koran mungkin terpenuhi jika masuk ke perpustakaan di universitas atau daerah masih berlangganan koran. Di kantor-kantor, koran belum tentu ada. Mata kita mulai kangen melihat koran. Kangen pula ke pembaca.
Pembaca koran sering bapak. Ingatan kita ke gambar-gambar di buku pelajaran atau buku cerita bocah. Bapak berpredikat pembaca koran: pagi atau malam. Pagi agak tergesa membaca koran, sebelum bapak berangkat ke kantor. Sore atau malam, waktu milik bapak duduk di beranda atau ruang tamu. Ia menjadi pembaca koran. Gambar-gambar berpesan ke kita: bapak itu paling pintar di keluarga. Bapak mengetahui segala hal, berhak membuat pendapat atau keputusan-keputusan penting di keluarga. Koran membuat bapak bisa berpikir dan terhormat.
Pembaca koran memang bapak. Kita mengingat dengan membaca puisi berjudul “Keluarga Khong Guan” gubahan Joko Pinurbo dimuat di Kompas, 31 Agustus 2019. Puisi berselera tragis: Banyak orang penasaran:/ mengapa sosok ayah/ dalam keluarga khong guan/ tak pernah tampak di meja makan?//… Si ibu angkat bicara,/ “Ayahmu sedang menjadi/ koran cetak yang kian/ ditinggalkan pembaca dan iklan.” Perkataan seperti enteng mengabarkan kesedihan kaum koran. Koran tak selalu bernasib baik. Koran mungkin menanggungkan “azab dan sengsara” atau “kalau tak untung” mengingat judul novel-novel lama. Koran ditinggalkan pembaca. Lembaran-lembaran kertas terbiarkan tanpa tatapan mata dan sentuhan tangan. Koran semakin apes ditinggalkan iklan. Sajian iklan-iklan meramai di televisi dan internet, tak melulu ingin tampil di halaman-halaman koran. Pembaca koran berkurang mengartikan iklan-iklan nekat dipasang di koran sulit mencari dampak ke penciptaan umat pembeli apa saja.
Koran ditinggalkan pembaca. Lembaran-lembaran kertas terbiarkan tanpa tatapan mata dan sentuhan tangan. Koran semakin apes ditinggalkan iklan.
Bapak pernah rajin membaca koran. Jutaan orang diwarisi imajinasi mengenai peran bapak di lakon keaksaraan Indonesia. Bapak tanpa koran mungkin bapak ketinggalan berita dan sulit betah di percakapan-percakapan. Tumpukan koran di meja tamu mengesahkan bapak dan penghuni rumah masih rutin memiliki berita-berita politik, pendidikan, ekonomi, sosial, agama, seni, olahraga, dan lain-lain. Rumah bergelimang berita. Selingan adalah puisi dan cerita pendek edisi akhir pekan. Bapak dan koran membuat rumah berhuruf sebelum bersaing dengan kecerewetan televisi. Kini, kecerewetan memukau bersumber di internet.
Koran masih terbit, belum mati. Indonesia masih memiliki Kompas, Republika, Media Indonesia, Republika, Koran Tempo, Koran Sindo, Pikiran Rakyat, Kedaulatan Rakyat, Jawa Pos, Suara Merdeka, Solopos, dan lain-lain. Koran mungkin di situasi bimbang dan “disepikan” tapi belum capek mendatangi kita setiap hari. Pembaca tetap ada di hitungan semakin berkurang. Pembaca dengan iman tak terbantahkan. Pembaca itu pemilik kebasian, kesabaran, ketenangan, dan kelawasan. Tiupan terompet kiamat belum untuk koran. Orang-orang menggerakkan koran terus beribadah dengan segala godaan, kecewa, sulit, dan kerutinan. Pembaca koran agak mengeluh mendapatkan koran semakin tipis dan menu tak lagi seperti dulu. Sesalan disampaikan tanpa mengajukan tuntutan-tuntutan berlebihan. Keinsafan koran masih mau terbit sudah keampuhan, tak perlu sembrono mempertahankan atau mengadakan hal-hal baru.
Di Kompas, kita simak berita berjudul “Koran Mati 20 Tahun Lagi?” Kita diminta bermufakat: “Internet bukanlah akhir koran cetak. Meski demikian koran harus berubah dengan mengonsentrasikan diri pada berita-berita yang berbobot dan berkedalaman. Koran di situasi terlalu cepat berubah. Koran di embusan segala pamrih cepat, ringkas, gampang, praktis, dan murah. Koran dihitung untuk meramalkan bakal habis-berakhir. Dua puluh tahun itu hitungan Philip Mayer (2004). Orang-orang memilih memikirkan keawetan dan faedah koran ketimbang menghitung mundur di ramalah tahun kematian.
Kabar baik itu koran. Pada 30 September 2019, diresmikan Taman Yakopan di kompleks Omah Petroek (Jogjakarta). Tempat untuk penghormatan tokoh dan koran. Penamaan taman mengacu ke Jakob Oetama, pendiri dan penggerak Kompas. Di situ, kita bisa menggunakan perangkat Pusat Informasi Kompas. Tempat mengandung misi sesuai penjelasan Sindhunata: “refleksi sekaligus harapan besar agar Kompas menjadi tempat kerja bangsa Indonesia. Kegelapan dan kesulitan yang mengancamnya karena disrupsi yang disebabkan dunia media elektronik dan digital kiranya justru boleh menjadi alasan dan kesempatan bagi Kompas untuk lahir kembali dan memperbarui dirinya lagi” (Kompas, 1 Oktober 2019). Kita diajak ke anggapan koran masih penting dan berfaedah bagi kita melintasi tahun-tahun semakin cepat dan meriah. Koran tetap informasi, memiliki edisi cetak dan bersedia mengalami “perintah” digital.
Kita diajak ke anggapan koran masih penting dan berfaedah bagi kita melintasi tahun-tahun semakin cepat dan meriah. Koran tetap informasi, memiliki edisi cetak dan bersedia mengalami “perintah” digital.
Ingatan koran masih rumah, bertambah dengan taman. Ketokohan di koran memungkinkan penghormatan berupa Taman Yakopan. Orang-orang mungkin berkunjung sambil mata bergerak ke segala arah mencari koran (cetak). Di situ, koran cetak bakal sulit diperoleh. Taman Yakopan di Omah Petroek berada di desa, jauh dari tempat-tempat masih menjual koran. Di halaman, koran masih bisa terlihat sebagai garapan seni berupa patung nenek sedang membaca koran. Kangen koran gagal menemukan penebusan. Orang masih mungkin merasa “menemukan” koran dengan menggunakan Pusat Informasi Kompas, mencari-melihat-membaca koran edisi digital, dari masa ke masa. Koran itu informasi, tak melulu lembaran-lembaran kertas dengan lipatan rapi. Koran belum tamat, belum di embusan napas terakhir. Ia mungkin bersalin rupa dalam penglihatan.
Koran bermasa lalu. Di kejauhan, kita mengetahui koran memberi terang saat orang-orang menginginkan mengerti Indonesia dan dunia. Di koran-koran, segala tulisan disajikan mungkin sudah dimaksudkan “terberikan” ke titian waktu. Sekian tulisan memilih terbit ulang. Kita simak “kejauhan” itu menjadi dekat dan ingat saat membuka buku berjudul Belajar Jurnalistik dari Humanisme Kompas (2019). Tulisan-tulisan lawas Sindhunata selaku wartawan pernah dimuat di Kompas terbaca lagi. Sekian tulisan di masa koran bernasib “baik”. Sindhunta jadi saksi untuk diri dan Kompas. Ia menulis tentang Kompas, sekolah dan tempat untuk membentuk diri sebagai insan: “Memperjuangkan humanisme memang tak mungkin dijalankan dengan kekakuan, kekerasan, rasa pongah dan menang sendiri, doktriner dogmatis, dan ideologis. Hanya dengan kesabaran, pengekangan diri yang jauh dari terburu nafsu, dan penghormatan pada manusia dalam kelemahan dan keterbatasannya, humanisme dapat ditegakkan.”
Pilihan kata itu bermakna belum sampai ujung. Kita membaca lagi saat kehilangan pemandangan bapak sedang membaca koran. Di pelbagai tempat, koran-koran sulit dilihat bersama ulah pembaca. Kita mungkin menduga senja telah tiba. Terang masih ada, belum semua gelap dan capek. Pembaca “beriman” memungkinkan koran-koran tak berada di kemeranaan dan sentuhan mata keaksaraan. Begitu.
Bandung Mawardi
Kuncen Bilik Literasi Solo
FB: Kabut
Comments