Jenaka Menunjukkan Bangsa
top of page
Cari

Jenaka Menunjukkan Bangsa

RIBUAN mahasiswa di pelbagai kota mengadakan unjuk rasa, 23 dan 24 September 2019. Mereka mengarahkan protes, marah, sedih, sesalan, dan kejenakaan ke DPR. Pilihan tempat unjuk rasa adalah Gedung DPR RI dan gedung-gedung DPRD di pelbagai kota. Para mahasiswa sengaja ingin bersuara agar DPR menunda pengesahan sekian rancangan undang-undang dan revisi undang-undang. Kerja DPR terlalu cepat dan “sembarangan”. Pada hari-hari terakhir berdinas, mereka seperti sedang membuat pesta pengesahan undang-undang minta pujian dan tepuk tangan. Mereka berlagak sudah melakukan kerja serius, besar, dan bersejarah. Para mahasiswa sebal gara-gara DPR tak memberi contoh kepantasan dalam menunaikan kerja dan ceroboh mengartikan demokrasi dalam urusan legislatif.


Pada hari-hari terakhir berdinas, mereka seperti sedang membuat pesta pengesahan undang-undang minta pujian dan tepuk tangan. Mereka berlagak sudah melakukan kerja serius, besar, dan bersejarah.

Mahasiswa-mahasiswa bermufakat mengadakan unjuk rasa. Mereka mengenakan jas almamater dan membawa poster. Mereka ingin bersuara dan menebar kata-kata. Datang dengan berani menanggung risiko bakal berhadapan dengan aparat. Mereka sadar mungkin berkeringat dan terluka. Di tempat-tempat masih dianggap untuk bersuara, para mahasiswa pun memilih penghiburan demokrasi dengan pameran poster-poster kejenakaan. Mereka tak mau marah itu membuat capek dan luka. Kata-kata di poster jadi cara berdemokrasi cap jenaka untuk meledek dan mewaraskan DPR. Mereka memang datang berdalih “suara rakyat” tapi ada kemungkinan pula mengumumkan suara jenaka.


Kita berhenti sejenak di “suara rakyat”. Konon, orang-orang di DPR itu mewakili suara rakyat. Kita telah lama dikibuli tapi “suara rakyat” tetap manjur dalam agenda-agenda demokrasi lima tahunan. Kejengkelan semakin terasa saat kita dibingungkan dengan sekian sebutan ke orang-orang terhormat di DPR: legislator, wakil rakyat, anggota DPR, anggota legislatif, dan lain-lain. Semua sebutan itu sulit dibuktikan. Mereka tetap saja “terhormat” meski kita jengkel setiap hari. Di Kompas, 20 Maret 2004, Samsudin Berlian mengajak pembaca untuk mengerti (lagi) masalah “suara rakyat”. Di tulisan, Samsudin menceritakan lelaki sedang marah besar gara-gara sangsi atas pengertian “suara rakyat” dalam lakon demokrasi di Indonesia. Ia berkata dalam murka: “Di negeri ini tidak ada suara rakyat. Yang ada ialah suara mereka yang bercuap-cuap atas nama rakyat. Mereka itulah yang selalu berkata. ‘Jangan sakiti hati rakyat… Rakyatlah yang menentukan… Sebagai wakil rakyat…’ Mereka itu merakyat. Artinya, bukan rakyat tapi tampil seolah-olah rakyat.” Kritik itu bisa kita gunakan untuk situasi Indonesia mutakhir. DPR keranjingan dengan sekian undang-undang tanpa mau mendengar usulan, protes, dan nasihat. Mereka ingin jalan terus untuk mencipta sejarah tak lucu, sejarah penuh khianat demokrasi.


Kita beralih saja ke kata-kata jenaka, agar tak terperangkap ke salah pengertian “suara rakyat”. Para mahasiswa dalam unjuk rasa sadar bakal dilihat orang-orang, dipotret wartawan, atau disiarkan di televisi. Raga mereka jadi tontonan di lakon unjuk rasa. Sadar itu digenapi kemauan memilih dan menulis kata-kata dalam poster. Mereka tak perlu lagi meniru slogan atau seruan dari para mahasiswa 1965-1966 atau 1998. Pada abad XXI, mereka sedang dilanda kata-kata jenaka tapi memuat album kecengengan bertema asmara. Para mahasiswa sedang lara oleh asmara tapi marah atas situasi demokrasi. Galak diperlukan untuk melawan pamrih-pamrih DPR tapi “kecengengan” tetap terasakan meski disajikan dengan kata-kata jenaka.


Para mahasiswa sedang lara oleh asmara tapi marah atas situasi demokrasi. Galak diperlukan untuk melawan pamrih-pamrih DPR tapi “kecengengan” tetap terasakan meski disajikan dengan kata-kata jenaka.

Di tempat unjuk rasa, para mahasiswa memamerkan poster dengan tulisan: “Aku kira yang lemah cuma hatiku, ternyata KPK juga”, “Ayam bapakku salah apa? RKUHP Pasal 278”, “Akadku dan kamu aja yang sah, UU KPK jangan”, “Cukup ortu kamu yang ganggu malam minggu, DPR jangan”. Kita simak pula penjelasan mahasiswa turut di unjuk rasa seperti diberitakan di Kompas, 25 September 2019: “Kami bergerak atas nama rakyat. Kami ingin rakyat bersimpati. Cara pendekatan yang bisa dilakukan adalah melalui humor.” Kita pastikan gerakan jenaka itu sudah dirancang sejak awal, menjadikan unjuk rasa tak melulu kemarahan dan ricuh. Jenaka berhak ada meski bukan perkara utama dalam demokrasi.


Kita lanjutkan lagi membaca kata-kata jenaka di poster: “Patah hati tetap aksi”, “Cukup cintaku yang kandas, KPK jangan”, “Cukup tolak KUHP saja, jangan tolak cinta saya”, “DPR medot janji, patah hati tetap aksi”, “Mending dadi sobat ambyar ketimbang KPK bubar”, “Aku pingin yang yangan tanpa dicekel polisi”, dan lain-lain. Sekian poster menggunakan bahasa Indonesia dan Jawa. Kita tergoda dengan sekian kata mengarah ke perasaan-asmara. Ada pula pengaruh dari selebrasi patah hati melalui lagu-lagu Didi Kempot. Unjuk rasa menjadi unjuk kejenakaan, unjuk kepedihan, unjuk kecengengan, dan unjuk kejengkelan. Kita semakin paham bahwa ulah para mahasiswa memang sengaja ingin memicu perhatian saat mereka berada di tempat unjuk rasa dan keriuhan di media sosial. Mereka ingin kata-kata jenaka itu berdampak ke politik meski tetap mengingatkan ke masalah-masalah tragis tapi dilucukan.


Kita semakin paham bahwa ulah para mahasiswa memang sengaja ingin memicu perhatian saat mereka berada di tempat unjuk rasa dan keriuhan di media sosial. Mereka ingin kata-kata jenaka itu berdampak ke politik meski tetap mengingatkan ke masalah-masalah tragis tapi dilucukan.

Di hadapan polisi bertugas membuat tertib dan aman, para mahasiswa pembawa poster-poster jenaka pantang mundur. Mereka tetap berunjuk rasa sampai keringat mengucur deras, suara menjadi serak, dan tubuh capek. Mereka tentu sempat mesem di situasi perlahan menjadi ricuh. Para mahasiswa itu sadar sedang berhadapan dengan polisi memiliki senjata dan strategi. Mereka tak sedang menghadapi “polisi bahasa”. Kata-kata dalam poster mereka buka sasaran mendapat hajaran dari “polisi bahasa”.


Kita ingat Polisi Bahasa (2019) itu judul buku berisi esai-esai garapan Eko Endarmoko. “Polisi bahasa” berbeda dengan polisi mengamankan DPR RI dan puluhan gedung DPRD di pelbagai kota. “Polisi bahasa” sering marah ketimbang tertawa. Eko Endarmoko mengingatkan: “Tak perlu heran rasanya bila sampai hari ini masih ada saja ‘polisi bahasa’ yang bawel, malah cenderung pedantis. Sebenarnya tak ada yang perlu dirisaukan pada bahasa Indonesia kita. Ia baik-baik saja dengan segala tata kaidah di dalamnya. Aspek mana pun yang ditabrak oleh penggunanya tak membawa banyak pengaruh yang berarti.” Sebutan itu berlaku bagi orang-orang mengaku sebagai “polisi” bertugas menertibkan bahasa Indonesia. Di unjuk rasa, 23-24 September 2019, para mahasiswa berhak menulis kata-kata dalam bahasa Indonesia dan Jawa tanpa wajib tertib sesuai kaidah kebahasaan. Kata-kata itu jenaka dan mengandung “kesalahan” dalam tata bahasa. Kita tak perlu menjadi “polisi bahasa” dengan menuding itu salah, menghina, meledek, atau mencemarkan nama baik. Jenaka itu perlu. “Polisi bahasa” tak usah turut repot dalam unjuk rasa mulai memiliki pameran kata-kata sejenak memicu tawa dan prihatin.


Kata-kata itu jenaka dan mengandung “kesalahan” dalam tata bahasa. Kita tak perlu menjadi “polisi bahasa” dengan menuding itu salah, menghina, meledek, atau mencemarkan nama baik. Jenaka itu perlu.

Unjuk rasa itu mencipta “sejarah bahasa”. Kita berhak mengarsip dengan misi mencari kemungkinan-kemungkinan kejenakaan dalam berdemokrasi. Sejak dulu, para pejabat dan “polisi bahasa” selalu memberi nasihat: “bahasa menunjukkan bangsa.” Kini, kita perlu lucu dan melakukan ralat atas kebiasaan berbahasa dengan mengikuti petunjuk-petunjuk tak mutlak bijak dari Alif Danya Munsyi dalam buku berjudul Bahasa Menunjukkan Bangsa (2005). Kita menjadi saksi dan pembaca bahwa ratusan poster dalam unjuk rasa di pelbagai kota tak mengharuskan disensor dulu oleh para “polisi bahasa”. Situasi demokrasi memungkinkan bahasa menjadi penentu: suka dan duka. Pada 2019, demokrasi kita tak bergantung ke petuah-petuah bijak mengenai bahasa Indonesia. Kita mencatat secara terang bahasa telah dijadikan mahasiswa untuk mengesahkan petuah mendadak: “jenaka menunjukkan bangsa.” Begitu.


Bandung Mawardi

Kuncen Bilik Literasi


FB: Kabut

108 tampilan
bottom of page