Jalan Berpuisi
Di majalah Kisah edisi Oktober 1955, kita membaca jalan. B. Sutiman menggubah puisi berjudul “Karma dan Hajati” mendapat keterangan: “nafas malam didjalan Slamet Rijadi”. Puisi tak terkenal, tak teringat bagi orang-orang menggemari puisi. Kita ingin mengingat jalan saja mumpung mendapat berita tentang jalan. Pada 19 Oktober 2020, Jalan Presiden Joko Widodo diresmikan di Abu Dhabi (Uni Emirat Arab). Peristiwa penting menghadirkan para pejabat Uni Emirat Arab dan Indonesia. Sepotong jalan sah mencipta sejarah. Jalan diartikan bukti hubungan erat dua negara (Tribun Jateng, 21 Oktober 2020). “Kemesraan” diinginkan demi sekian kerja sama bakal saling menguntungkan. Jalan menandai kebersamaan dalam “kemesraan”.
Puisi gubahan B. Sutiman juga mengisahkan kemesraan lelaki-perempuan, bukan dua negara. Kemesraan menguak protes sosial. Kita simak:
Rumah lampu kuning berteras
besi geligen budjur sangkar batas katja
dibawah dinding hidjau tidurlah mereka
kere-kere kurus mengigau indah kedinginan
Karma dan Hajati bersajangan, tidur berdjauhan.
Jalan di Solo itu memiliki sejarah: revolusi, kemiskinan, kekuasaan, bisnis, kekerasan, asmara, seni, dan lain-lain. Jalan semakin ramai dengan pelbagai pamrih sering tak dimengerti warga. Pada suatu masa, Joko Widodo sebelum menjadi presiden sering melintasi jalan dan mengadakan acara-acara di Jalan Slamet Riyadi. Jalan itu tercatat dalam biografi meski tak ada keinginan mengubah jalan bersejarah menjadi Jalan Presiden Joko Widodo.
Suasana jalan terekam dalam puisi. Kita teringat Solo dan masih menunggu ada kabar dari orang berbagi cerita melewati Jalan Presiden Joko Widodo di Abdu Dhabi. Kutipan dari puisi B. Sutiman:
Karma, lagumu menjeni sepandjang kerusuhan/
di Sriwedari ada pesta makan roti minum limun/
adjari aku ja kasih, menari silang/
bagai gadis-gadis dan lelaki SMAC, malam ini/
biar diiringi kerontjong bumbung/
suling dibunjikan hati dan ketokan kotak sampah/
musiknja musik kaleng, kaleng melek dan mentega/
bunjinja ting tong ting tong terengtengteng….
Puisi itu belum mengisahkan jalan bertema kekuasaan atau tokoh penting. Di jalan bersejarah, kaum kere mengartikan malam. Hidup mereka masih bermusik sebagai cara berdoa agar tak terlalu menderita.
Pada masa berbeda, kaum kere dan segala kotor di jalan-jalan utama di Solo dan pelbagai kota disingkirkan atas nama birokrasi. Mereka membuat pemandangan buruk bila ada tamu atau turis melewati jalan.
Di jalan bersejarah, kaum kere mengartikan malam. Hidup mereka masih bermusik sebagai cara berdoa agar tak terlalu menderita.
Pengindahan dilakukan dengan taman, patung, lampu, dan lain-lain. Mendandani jalan berarti membuat kota menjadi anggun, gagah, romantis, dan puitis. Sekian masalah diharapkan tak terlihat atau menghilang. Puisi lawas dari masa 1950-an sempat merekam. Kita membaca sambil mengagumi suasana Jalan Sriwedari abad XXI. Jalan itu terus bermasalah bagi pemerintah, pengusaha, sejarawan, seniman, dan lain-lain. Di Solo, kita tak cuma mengenal Jalan Slamet Riyadi. Ada sekian jalan dinamakan dari para tokoh politik, militer, dan seni. Kita jangan terlalu berharap menemukan suasana sastra atau kejawaan bila melintasi Jalan Yosodipuro atau Jalan Ranggawarsita.
Kini, kita diajak mengingat dua negara dipertemukan di jalan. Kita sulit bepergian ke Abu Dhabi, tak memiliki duit atau jarak terlalu jauh. Kita memilih melewati jalan-jalan di Indonesia saja bermisi pelesiran, berbelanja, bekerja, atau mencari hiburan. Sekian jalan sering terekam dalam film, foto, dan lukisan. Sekian jalan juga terbaca dalam puisi-puisi atau gubahan sastra. Jalan itu bercerita, tak melulu politik. Jalan selalu berubah tapi sempat tercatat dalam puisi, dokumentasi suatu masa.
Kita ingin melewati jalan melalui puisi gubahan Piek Ardijanto Soeprijadi (1929-2001). Ia rajin menulis jalan. Kita mulai dengan puisi berjudul “Jalan Tuntang”, puisi bersaing dengan senandung memiliki lirik moncer: “sepanjang jalan kenangan”. Kita membaca ingin terharu:
kuperlambat langkahku
menatapi pepohonan
tepi jalan tambah tua
menggoyangkan rerantingnya
menyampaikan salam.
Pemandangan itu nostalgia. Kita perlahan terjebak dalam lakon asmara masa lalu:
kuusap-usap jalan beraspal dengan sepatuku
barangkali masih menyimpan bekas
telapak kaki kami berdua
di jalan ini kami sadap malam
dan hatiku kulabuhkan padanya
mungkinkah kabut tipis itu
bisa menghapus kenangan di jalan ini
ketika kugandeng gadis menggelitik hati
waktu aku masih jejak
dan sekarang entah di mana.
Jalan cenderung asmara, ketimbang tokoh-tokoh mengisahkan kekuasaan atau militer. Kita pun memilih berasmara saja.
Kita bergerak ke Bandung, Jawa Barat. Di sana, kita mengalami masa lalu jalan melalui puisi berjudul “Suatu Senja Ketika Jalan-Jalan di Jalan Merdeka” gubahan Sutan Iwan Soekri Munaf. Puisi terbaca sendu:
suatu senja ketika jalan-jalan di jalan merdeka
aku ingat sewindu silam seekor burung bernyanyi sendu…
senja ini seekor burung yang pandai bernyanyi sendu
terkapar di sela-sela selokan bersama denging suaranya.
Pada suatu masa, pepohonan di pinggir jalan menjadi tempat hidup bagi sekian binatang, terutama burung. Kota terus berubah, jalan berubah nasib. Suasana pada masa 1980-an:
suatu senja ketika jalan-jalan di jalan merdeka
aku dengar suara kenalpot motor dengan asap merasak.
Jalan bercerita kematian dan keramaian.
Kita masih di Bandung, menikmati puisi melulu kecewa dan protes. Puisi gubahan Diro Aritonang berjudul “Jalan Braga Malam Hari”. Puisi berlatar 1980-an:
bising kota larut dalam sepi
etalase-etalase tak lagi nampakkan diri
yang seperti biasa hanya jadi ilusi
bagi orang papa yang jadi iri
lenggang kota timbulkan birahi
di antara mobol-mobil berjejer mati
menyaksikan tuannya menghibur diri
setelah siang operasi di meja-meja instansi.
Nasib jalan-jalan di pelbagai kita ditentukan kebijakan birokrasi, pamrih pengusaha, dan pariwisata. Jalan itu “ramai” persaingan makna. Kita tak lagi selalu terjebak asmara.
Di kalangan sastra, jalan paling terkenal tentu Jalan Malioboro. Kita memiliki ingatan dan berlimpahan cerita dalam biografi para pengarang dan gubahan teks sastra. Kita menjenguk sejenak dalam buku berjudul Sastrawan Malioboro 1945-1960: Dunia Jawa dalam Kesusastraan Indonesia (2004) susunan Farida Soemargono. Jalan bersejarah itu menjadi tempat rangsang imajinasi bagi sekian pengarang: Nasjah Djamin, Kirdjomuljo, Motinggo Busje, dan lain-lain. Jalan memang untuk perdagangan atau pelesiran tapi memungkinkan terjadi peristiwa sastra. Jalan itu tercatat penting dalam biografi Sitor Situmorang (1981) saat menulis buku biografi. Selama revolusi dan memenuhi panggilan sastra ia mengingat titik awal adalah Jalan Malioboro. Jalan itu teringat dan terceritakan. Pada abad XXI, kita masih bisa melewati Jalan Maliboro meski tak merasa ada suasana sastra seperti masa lalu. Semua telah berubah. Kini, kita menunggu saja berita atau cerita dari jalan beralamat di kota jauh dari Indonesia. Begitu.
_____________
Bandung Mawardi
pemenang 3 Sayembara Kritik Sastra DKJ 2019,
Kuncen Bilik Literasi, Penulis Buku Terbit dan Telat (2020)
FB: Kabut
Comments