Berlagak Sedih Tak Berujung
top of page
Cari

Berlagak Sedih Tak Berujung

Industri imajinasi anak itu mencengangkan. Berita terbaru sampai ke kita menjadi godaan sulit ditampik. Boneka “sakti” bernama Codi. Ia memiliki tinggi 21,6 cm. Boneka bersuara seperti orang tua. Konon, boneka itu digunakan untuk merekam suara orang tua mendongeng atau memberi petuah ke anak-anak. Orang tua tak sanggup atau dilanda malas mendongeng bisa menggunakan fasilitas dalam boneka. Di tubuh boneka tersimpan 130 dongeng klasik. Jari memijat tombol, dongeng-dongeng terdengar oleh anak. Boneka mau mendongeng bernama Codi dihargai 1 jutaan rupiah (Tempo, 22 Juli 2019). Orang tua mungkin girang mendapatkan boneka dengan teknologi-mendongeng. Tugas bisa dialihkan ke Codi asal memiliki duit untuk membeli. Codi menjadi “pengasuh” bagi anak-anak. Bapak dan ibu sibuk bekerja atau malas mendongeng tak perlu takut anak-anak sepi dari industri imajinasi. Ingat, ada Codi!


Berita itu lekas “disusul” dengan seruan pemerintah agar para orang tua mau membacakan buku ke anak-anak, terutama anak-anak sedang menempuhi pendidikan anak usia dini. Pemerintah mengaku prihatin dan bertanggung jawab agar anak-anak memiliki kegembiraan dan pengetahuan dari cerita-cerita dibacakan orang tua. Pemerintah pun mencanangkan Gernas Baku (Gerakan Nasional Orang Tua Membacakan Buku), Jakarta, 27 Juli 2019 (Republika, 29 Juli 2019). Pemerintah mengadakan itu bukan “jawaban” atas produksi imajinasi dongeng melalui boneka-teknologis. Semula, pemerintah melakukan riset serius dan membuat pertimbangan-pertimbangan agar tanggung jawab orang tua terhadap anak terpenuhi. Pemerintah menginginkan anak-anak kelak membentuk dan memuliakan Indonesia dengan taburan imajinasi dan ide diperoleh selama dalam pengasuhan orang tua. Pengasuhan terpenting itu membacakan buku, bukan membelikan gawai, es krim, baju, atau sepeda. Pengasuhan dengan boneka-mendongeng mungkin belum pilihan darurat di Indonesia. Ingat, pengasuhan dengan buku!


Pengasuhan terpenting itu membacakan buku, bukan membelikan gawai, es krim, baju, atau sepeda. Pengasuhan dengan boneka-mendongeng mungkin belum pilihan darurat di Indonesia. Ingat, pengasuhan dengan buku!

Data dari BPS (2015) membuat pemerintah “sedih tak berujung”. Data diperoleh: 91,47 anak usia sekolah suka menonton televisi. Anak suka membaca buku cuma 13,11%. Pemerintah lekas menularkan sedih ke para orang tua, guru, pengamat pendidikan, sastrawan, penerbit buku, dan lain-lain. Gerakan Orang Tua Membaca Buku dimaksukan mengurangi atau menumpas sedih. Gerakan itu ingin membahagiakan anak. Kebahagiaan bisa merangsang anak berilmu, berkarakter, dan memiliki kemampuan-kemampuan bakal terbaca di nalar-akademik.



WAYANG BRAYUT - http://wayangkulitpurwo.blogspot.com/2012/07/dudahan_15.html



Dirjen Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Masyarakat Harris Iskandar di Jakarta, 27 Juli 2019, memberi pesan bahwa membaca buku itu membahagiakan. Patokan terpenting adalah bahagia, belum ilmu atau serbuan pesan moral dengan segala ketentuan baku. Bahagia! Gerakan agar orang tua membaca buku ke anak-anak itu mungkin telat. Kita telanjur mengalami hari-hari bertelevisi dan bergawai. Segala perangkat teknologis sudah “cepat”, “gampang”, dan “murah” memberi bahagia. Konon, gerakan itu “untuk melawan pengaruh buruk gawai” (Republika, 29 Juli 2019). Pemerintah sadar telat tapi misi-misi mulia literasi anak dan keluarga tetap dijalankan meski sering kekurangan referensi dalam “membenarkan” kebijakan atau gerakan.


Patokan terpenting adalah bahagia, belum ilmu atau serbuan pesan moral dengan segala ketentuan baku. Bahagia!

Kita mengingat ke masa lalu. Pada masa 1950-an, Indonesia belum dilanda televisi, kaset cerita, gawai, atau boneka-mendongeng. Industri imajinasi anak ditemukan di buku dan majalah berkaitan dengan politik-keaksaraan. Di radio, anak-anak pun berhak simak dongeng dengan ketakziman. Masa lalu itu bukan sepi dari masalah. Perdebatan dan “sedih tak berujung” tetap ada. Pemerintah sudah mulai prihatin di hadapan masalah industri buku dan majalah, belum televisi dan gawai.


Dulu, masalah gawat itu komik. Kita membuka majalah lama bernama Dunia Wanita edisi 10 April 1957 di rubrik “Asuhanku”. Pengamatan dituliskan: “Kebanjakan orangtua sekarang berpendapat bahwa anak-anak mereka harus didjauhkan sama sekali dari buku-buku dan gambar komik. Sebab, mereka berpendapat bahwa buku-buku komik ini tentu akan merusak selera anak-anak untuk membatja buku-buku jang baik.” Komik dituduh memberi pengaruh buruk. Anak-anak bakal berpikiran tak sehat, nakal, menghamburkan uang, dan lain-lain. Komik itu musuh! Artikel di majalah itu justru “memarahi” para orang tua berpikiran kolot dan asal tuduh. Kegembiraan anak membaca komik itu wajar. Kewajiban orang tua tentu “bersama” atau “mendampingi”. Orang tua malas dalam pembiasaan anak membaca buku semakin membuat situasi keaksaraan amburadul. Komik memang memikat tapi anak bisa melanjutkan gairah membaca ke jenis-jenis buku berbeda asal tak terlalu dirundung perintah dan tuduhan sembrono.


Orang tua malas dalam pembiasaan anak membaca buku semakin membuat situasi keaksaraan amburadul. Komik memang memikat tapi anak bisa melanjutkan gairah membaca ke jenis-jenis buku berbeda asal tak terlalu dirundung perintah dan tuduhan sembrono.

Tahun demi tahun berlalu. Pada masa 1990-an, bacaan untuk anak tetap masalah besar. Para orang tua protes dan menganggap industri imajinasi di Indonesia diserbu buku-buku asal negara-negara asing. Penerbitan buku anak terjemahan berlimpahan! Seto Mulyadi selaku penulis buku anak, pendongeng, dan pendidik memberi nasihat ke para orang tua. Kak Seto menganggap anak-anak lebih suka membaca buku terjemahan itu wajar mengacu ke kemasan, isi cerita, dan kertekaitan dengan sajian film-film di televisi. Orang tua jangan lekas cemas dan marah. Bacaan asing itu penting meski orang tua berdalih bakal merusak karakter dan patriotisme. Perkara terpokok adalah orang tua membaca bersama anak agar ada pengertian bersama tentang selera dan dampak (Gatra, 31 Mei 1997). Situasi itu membuktikan para penulis buku cerita anak di Indonesia sedang lengah. Para orang tua pun belum sanggup jadi pendongeng, pembaca buku, atau panutan bagi anak-anak. Pada masa 1990-an, situasi itu belum ditanggulangi dengan sekian gerakan berdalih pemajuan literasi anak dan keluarga.


Masalah demi masalah bermunculan. Pemerintah telat menanggapi dan orang tua gampang prihatin. Kita perlu memikirkan lagi penilaian Rahmah Asa, penulis buku anak-anak di masa 1990-an. Ia rajin menulis cerita anak khas Indonesia dan menerjemahkan cerita-cerita dari negeri asing, terutama La Fontaine. Ia mengamati bahwa minat membaca anak-anak di Indonesia tinggi dengan bukti buku anak-anak laris di pasar. Rahmah Asa berani memberi konklusi: “Minat baca anak-anak tinggi tapi minat baca orang tua di Indonesia sangat rendah” (Tempo, 25 Juli 1999). Ia mungkin berlebihan dengan menganggap “sangat rendah”. Dulu, orang tua bertugas memberi duit untuk membeli buku, bukan sebagai pembaca buku ke anak atau pembaca buku bersama anak. Kita bermufakat dengan anggapan Rahmah Asa. Masalah terbesar dari kebijakan keaksaraan bukan anak tapi orang tua. Aneh, para orang tua berlagak sedih, prihatin, dan marah melihat anak-anak mereka tak rajin membaca buku. Mereka saja tak mau jadi pembaca buku atau mengesahkan membaca sebagai “ibadah” bersama di rumah.


Masalah terbesar dari kebijakan keaksaraan bukan anak tapi orang tua. Aneh, para orang tua berlagak sedih, prihatin, dan marah melihat anak-anak mereka tak rajin membaca buku. Mereka saja tak mau jadi pembaca buku atau mengesahkan membaca sebagai “ibadah” bersama di rumah.

Kini, pemerintah mencanangkan Gerakan Nasional Orang Tua Membacakan Buku. Kita mulai bingung gerakan itu mengarah ke orang tua atau anak. Data-data digunakan pemerintah sering anak, bukan orang tua. Ingat, masalah tergawat itu orang tua. Kita masih menunggu data resmi dari BPS mengenai jumlah orang tua suka menonton televisi, bermedia sosial, dan pelesiran. Data-data itu nanti digunakan untuk menasihati para orang tua agar “bertobat” dan mengambil peran besar dalam merangsang anak-anak menggandrungi buku. Kita maklumi saja gerakan bercap pemerintah sering mendapat tepuk tangan di awal tapi lekas redup dan terlupa. Masalah buku di Indonesia itu masalah orang tua, belum masalah dengan anak-anak selalu dituduh salah dan diprihatinkan. Begitu.



Bandung Mawardi,

Kuncen Bilik Literasi Solo

FB: Kabut


318 tampilan
bottom of page